Sebelumnya terimakasih kepada dosen saya bapak
Yoserwan SH, MH yang telah mau memberikan bahan kuliah tentang hukum Pidana
ekonomi ini. Walaupun jujur saja saya kurang minat dalam hal bidang ke Pidanaan
(Karena minat saya adalah Ke Perdataan... hehehe...), tapi karena hari ini ada
ujian HPE maka saya akan mencoba berbagi sedikit banyaknya bahan kuliah tentang
tindak pidana ekonomi khususnya bidang Kepabeanan yang saya dapat lansung dari
bapak Yoserwan.
Oke.. kalo gitu selamat membaca... Semoga bermanfaat... ^_^
Oke.. kalo gitu selamat membaca... Semoga bermanfaat... ^_^
Oleh : Yoserwan SH, MH
A. Pendahuluan
1.
Peristilahan
Salah satu bagian
penting dari tindak pidana ekonomi seperti yang termuat dalam UU No.7 Drt.
Tahun 1955 adalah pelanggaran terhadap
Rechten Ordonantie Stb.1882 No.240
sebagaimana telah diubah dan ditambah. Pelanggaran terhadap peraturan
ini disebut juga dengan tindak pidana atau delik penyelundupan. Menurut Andi
Hamzah, istilah penyelundupan merupakan istilah sehari-hari, akan tetapi dewasa ini sering dipakai untuk menunjukkan
pelanggaran terhadap rechten ordonantie tersebut. Istilah penyelundupan secara formal dalam
perundang-undangan dipakai dalam Keputusan Presiden No.73 tahun 1967 yang
merupakan delik yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang dari Indonesia ke luar
negeri (ekspor) atau pemasukan barang
atau uang ke Indonesia atau impor. Pengertian yang dimuat dalam Kepres
tersebut sebenarnya merupakan pengertian dalam erti sempit, karena di dalamnya
tidak termasuk pengeluaran dan pemasukan barang antar pulau (intersuler) yang juga diatur dalam rechten ordonantie
tersebut.(Hamzah:1991:81)
Dengan
diberlakukannya Undang-Undang No.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, maka Rechten
Orodinatie tidak berlaku lagi, dengan demikian diganti dengan peraturan yang
baru tersebut. Dengan diberlakukannya undang-undang itu, maka sebenarnya
istilah tindak pidana penyelundupan mempunyai dasar hukum yang kuat, karena di
dalam undang-undang tersebut yakni dalam pasal
102 telah dengan tegas digunakan istilah penyelundupan. Yang dimaksud
dengan penyelundupan menurut ketentuan tersebut adalah : “mengimpor atau mengekspor atau mencoba untuk mengimpor atau mengekspor
barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini,” Dihubungankan
dengan pendapat Andi Hamzah seperti dikemukakan sebelumnya, istilah penyelundupan
kelihatannya juga dalam arti sempit yakni hanya sebagatas mengimpor dan ekspor
saja. Namun bila diperhatikan pengertian ekspor dan impor yang dimuat dalam
undang undang ini yakni dalam Pasal 1 butur 13 dan 14 maka pengertian
penyelundupan adalah dalam arti luas. Karena pengertian impor atau ekspor
tidak dalam arti memasukan atau
mengeluarkan barang dari dan ke luar negeri. Menurut pasal 1 butir 13 Impor
adalah kegiatan memasukkan barang ke
dalam daerah Pabean. Sedangkan dalam
Pasal 1 butir 14 dinyatakan bahwa Ekspor
adalah mengeluarkan barang dari Daerah
Pabean. Daerah Pabean menurut Pasal
1 butir 2 adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan dana ruang angkasa diatasnya serta tempat tertentu dsi Zona Ekonomi
Eksklusif dan Landasan Kontinen yang di dalamnya berlaku undang-udang ini.
Penggunaan istilah
penyelundupan dalam undang-undang tersebut juga menimbulkan pertanyaan, karena
disatu pihak pembuat undang-undang menginginkan penggunaan istilah itu bersifat
umum (general) karena dimaksudkan untuk seluruh ketentuan perundang-undangan
ini. Istilah ini sama dengan istilah korupsi, atau narkotika. Namun di pihak
lain pembuat undang-undang menjadikannya delik tersendiri yakni mengancamnya
dengan pidana sedendiri seperti dimaksud dalam pasal 102. Hal itu tentu saja
membuatnya berbeda dengan tindak pidana lain yang diatur dalam undang-undan
tesebut, seperti dalam Pasal 103, 104 dan yang lainnya. Sedangkan bila mengacu
kepada pasal 102, tindak pidana dalam pasal 103 adalah juga penyelundupan.
Untuk itu perumusan pasal 102 seharusnya tidak diberi sanksi pidana tersendiri
hanya sekedar penyebutan bahwa seluruh tindak pidana dalam undang-undang itu
adalah tindak pidana penyelundupan.
Namun dalam
penjelasan pasal 102 dinyatakan bahwa tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini ini berarti “sama
sekali tidak memenuhi ketentuan atau
prosedur sebagaimana telah ditetapkan
undang-undang ini.” Dengan demikian berarti bahwa seluruh aturan undang-undang ini harus di
langgar. Bagaimana kalau sebagian syarat atau prosedur saja yang di langgar,
menurut penjelasan pasal 102 tersebut jelas tidak ada tindak pidana
penyelundupan.
Dengan pertimbangan tersebut, untuk
seluruh pelanggaran terhadap undang-undang Kepabeanan ini lebih tepat disebut dengan Tindak Pidana
Kepabeanan. Argumentasi lain adalah bahwa tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang ini tidak seluruhnya berkaitan secara angsung dengan impor
ekspor, melainkan juga dengan tindak pidana yang sebenarya sudah diatur dalam
KUHP seperti membuka, melepas atau merusak kunci atau segel tang telah dipasang
oleh pejabat bea cukai, seperti diatur dalam pasal 105 butir b.
Persoalan lain timbul
dengan diundangkannya udnag-udang No.10 tahun 1995 adalah apakah udang-undang
yang baru ini masih termasuk dalam cakupan UU No.7 Drt Tahun 1955. Permasalahan
sangat urgen di jawab karena berkaitan dengan berbagai aturan yang termuat
dalam UUUTP, seperti masalah kompetensi, masalah pemberlakuan pasal 26, 32 dan
33 UUTPE, serta berbagai penyimpangan lainnya dalam UUTPE.
Kalau UU No.10 tahun 1955 ini masih termasuk ke
dalam cakupan UUTPE, maka secara otomatis berbagai penyimpangan dan sanksi
pidana dalam UUTE juga berlaku terhadap Tindak Pidana Kepabeanan ini.
Sebaliknya kalau tidak termasuk, maka tentu saja berbagai penyimpangan dalam
UUTPE tidak berlaku terhadap Tindak
Pidana Kepabeanan ini.
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut pertama tentu kita harus melihat kepada UU No. 10 tahun
1995 tersebut, yakni apakah ada aturan yang menetapkan atau tidak bahwa
undang-udang tersebut termasuk dalam cakupan UUTPE.
Bila diperhatikan,
tidak ada aturan yang menyatakan bahwa UU No.10 tahun 1995 termasuk kedalam
cakupan UUTPE. Dalam undang-undang tersebut yakni dalam BAB XVIII tentang
Ketentuan Penutup, hanya disebutkan bahwa:
“Dengan berlakunya undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku lagi:
1.
Indische tarief Wet, Staatsblad
Tahun 1873 No.35 sebagaimana telah ditambah dan diubah.
2.
Rechten Ordonnatie, staatsblad
tahun 1882 No.240 sebagaimana telah ditambah dan diubah.
3.
Tarief Ordonnantie, Staatsblad
tahun 1910 No.628 sebagaimana telah diubah dan ditambah.”
Dengan tidak
diaturnya bahwa UU No.10 Tahun 1995 ini
termasuk dalam cakupan UUTPE, maka jelas undang-undang ini tidak lagi temasuk
dalam cakupan UUTPE. Akibatnya berbagai pengecualian dalam UUTPE tidak berlaku
terhadap Tindak Pidana Kpabeanan ini.
Argumentasi lainnya UU No. 10 tahu 1995 ini juga memuat beberapa pengecualian,
seperti masalah penyidik, dan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana.
2. Latar belakang Undang-Undang
Kepabeanan
Dengan perkembang
aktivitas ekonomi khususnya perdagangan barang, maka dibutuhkan adanya
turan-aturan yang dapat mengantisipasi perkembangan yang ada khususnya
berkaitan dengan perdagangan internasional. Peraturanyang ada selama ini
khususnya yang termuat dalam Indische Tarief Wet Staatsblad No.1873 No.35,
Rechten Ordonnantie, Staatsblad No.1882 No.240 dan Tarief Ordonantie, Staasblad Tahun 1910.
Dalam konsideran UU
No.10 tahun 1995 dinyatakan pertimbangan dikeluarkannya undang undang ini
adalah:
a.
Pelasanaan pembangunan nasional
telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya
si bidang perekonomian. Termasuk bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan
kegiatan perdagangan internasional.
b.
Untuk menciptakan kepastian
hukum dan kemudahan administrasi di
bidang kepabeanan
c.
Peraturan di bidang kepabeanaan
yang ada tidak dapat mengikuti
perkembangan ekonomi nasional dan
perdagangan internasional
Untuk mengantisdipasi
kebutuhan dan perkembangan yang ada, undang-unang ini telah memperhatikan
berbagai aspek seperti:
1.
Aspek keadilan yakni kewajiban
kepabeanan dibebankan kepada anggota
masyarakat yang melakukan kegiatan kepabeanan dan terhadap mereka diberlakukan
aturan yang sama dalam hal dan kondisi yang sama;
2.
Pemberian insentif untuk menunjang pertumbuhan perekonomian
seperti fasilitas tempat penimbunan berikat, pembenasan bea
masuk tertentu dan lainnya;
3.
Netralitas dalam bea masuk
4.
Kelayakan administrasi, yakni
pelayanan administrasi secara lebih tertib terkendali, dan sederhana.
5.
Kepentingan penerimaan negara
6.
Penerapan pengawasan dan sanksi
7.
Wawasan nusantara yakni pemberlakuan udang-udang ini meliputi
daerah pabean yang meliputi seluruh negara republik Indonesia .
8.
Praktek kepabeanan
Internasional sesuai dengan perjanjian perdagangan internasional.
Undang-Undang inijuga
memuat berbagai hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam peraturan
kepabeanan yakni tentang bea masuk anti
dumping, bea masuk imbalan, pengendalian impor,
atau ekspor baranghasil
pelanggaran hak atas kekayaan intlektual, pembukuan, sanksi administratif,
penyidikan dan lembaga banding.
B. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Kepabeanan
Ketentuan pidana
dalam UU No.10 Tahun 1995 diatur dalam
bab XIV dari pasal 102 samapi dengan
pasal 111. Tindak pidana atau perbuatan yang dilarang menurut undang-undang ini
dapat dibedakan atas:
1. Pelanggaran pasal 102 yang
berbunyi
“Barang siapa yang mengimpor atau mengekspor atau
mencoba mengimpor dan
mengekspor
barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-unang ini dipidana karena
melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling
banyak Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
2. Pelanggaran pasal 103:
“Barang siapa yang:
a. menyerahkan pemberitahuan pabean
dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/ atau memberikan keterangan lisan atau
tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban
Pabean.;
b.
mengeluarkan barang impor dari Kawasan pabean atau dari
Tempat Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan
maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea masuk dan/atau pungutan negara
lainnya dadalam rangka impor;
c.
membuat, menyetujui, atau turut
serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan;
d.
menimbun, menyimpan, memiliki,
membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memebrikan barang impor yang
berasal dari tindak pidana sebagai mana dimasud dalam pasal 102, dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau denda
paling banyak Rp.250.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)
3. Pelanggaran pasal 104:
Barang siapa yang :
a.
mengangkut barang yang berasal
dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102:
b.
memusnahkan, mengubah,
memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut
undang-undang ini harus disimpan;
c.
menghilangkan, menyetujui, atau
turut serta dalam penghilangan
keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan;
atau
d.
menyimpan dan/atau menyedikan
blanko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang
diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut
Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan atau/denda paling banyak
Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah)
4.Pelanggaran
pasal 105:
Barangsiapa yang :
a.
membongkar barang impor di
tempat lain dari tempat yang ditentukan menurut Undang-undang ini;
b.
tanpa izin membuka, melepaskan
atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh Pejabat
Bea dan Cukai, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
5.Pelanggaran pasal 106:
“Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan
sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jara
kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49,
Pasal 50 atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan kerugian
keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/ atau
denda paling banyak Rp.125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah)”
6. Pelanggaran Pasal 107:
“Pengusaha pengurusan jasa
kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan Pabean atau kuasanya yang
diterima dari importis atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang dancam
dengan pidana berdasarkan Undang-undang ini, ancamanpidan tersebut berlaku juga
terhadapnya.”
Dengan demikian
terdapat lima
bentuk tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan ini.
1.
Tindak pidana penyelundupan
Tindak
pidana ini adalah setiap orang yang
mengimpor dan mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undnag ini.
Tindak pidana ini disebut dengan tindak pidana penyelundupan. Dengan demikian
tindak pidana penyelundupan hanyalah pelanggaran terhadap pasal 102 ini.
Permasalahanya
adalah apa yang dimaksud dengan tidak mengindahkan ketentuan undang-undang ini.
Jawaban pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 102 tersebut.
Yang dimakud “tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini” adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan
atau prosedur sebagaimana telah
ditetapkan Undang-undang ini. Dengan
demikian, apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah
mengindahkan ketentuan undang-undang ini walaupun tidak sepenuhnya, tidak
termasuk perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan pasal ini.
Pertanyaan lain
apakah seseorang yang memasukan barang telah memenuhi surat-surat atau prosedur
administratifnya, namun ternyata jumlah atau kuantitasnya atau kualitasnya tidak
sesuai dengan yang sebenarnya, apakah dapat dikatakan sebagai penyelundupan
atau tidak. Bila berpijak pada penjelasan pasal 102 jelas tidak bisa, karena
yang bersangkutan tidak sama sekali melanggar undang-undang kepabeanan. Namun.
Namun kalau tidak tergolong apakah tindakan tersebut? Ataukah tindakan itu
tidak merupakan tindak pidana? Dari sudut pandang hukum pidana umum jelas
tindakan itu itu sudah merupakan suatu tindak pidana. Karenanya penjelasan
pasal 102 yang menyatakan sama sekali melanggar aturan ini tidak perlu
dimasukkan karena hanya akan menimbulkan persoalan. .
2.
Tindak pidana kedua adalah
berkaitan dengan perbuatan pemalsuan dokumen/dokumen kepabeanan seperti diatur
dalam pasal 103 butir a.
3.
Tindak pidana berupa
mengeluarkan barang impr dari kawasan Pabean
tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai, tindakan menimbun, menyimpan
dan sebagainya barang selundupan seperti diatur dalam pasal 103 butir b
4.
Menimbun, penyimpan, memiliki,
menjual menukar, memperoleh atau
memberikan barang selundupan, seperti diatur dalam pasal 103 butir d.
5.
Tindak pidana mengangkut barang yang berasal dari selundupan.
6.
Merusak,
menghilangkanpembukuan.
7.
Menyimpan dan atau menyediakan
blanko faktur dagang dari perusahan yang
berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean.
8.
Membongkar barang impor di luar
kantor pabean tujuan pertama, seperti diatur dalam pasal 105 butir a.
9.
Tindan pidana membuka,
melepaskan, merusak kunci, segel, atau tanda pengamanan yang dipasang oleh Pejabat
bea dan Cukai.
10.
Tindak pidana tidak
melaksanakanpembukuan, tidak menyerahkan pembukuan serta tidak membuat catatan
berdasarkan yang ditetapkan pasal 51 dan menyimpannya selama sepuluh tahun,
seperti diatur dalam pasal 106.
Selain tindak pidana
seperti yang dikemukakan di atas, undang-undang ini juga mengancam mereka yang
membuat, menyetujui, atau turut serta menambah data palsu ke dalam buku atau
catatan, seperti diatur dalam pasal 103 butir c.
Undang-Undang ini
juga mengancam Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan
pabean atas kuasa yang diterimanya dari importir atau eksportir, apabila
melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan Undang-undang ini,
juga dapat dipidana sebagai melakukan perbuatan tersebut. Tindak pidana jelas
mensyaratkan unsur kesengajaan karena menggunakan kata melakukan. Pengaturan
Pasal 107 ini termasuk ke dalam kategori “deelneming”,
baik dalam kategori turut serta atau membantu melakukan.
Undang-undang ini
juga mengatur pertanggungjawaban korporasi seperti diatur dalam Pasal 108.
Pegaturan pertanggungjawaban korporasi dalam undang-undang ini mengikuti
ketentuan dalam UUPTE. Namun, dalam undang-undang ini juga diatru dengan tegas
sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, yakni seperti diatur
dalam Pasal 108 ayat (4):
Terhadap badan
hukum, perseoran, atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, jumlah
dipidana sebagaimana dimaksud dalam undang-unang ini, pidana pokok yang
dijatuhkan senantiasa berupa pidana
denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) jika atas tindak
pidana itu diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana
denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan
pidan denda.
Ketentuan seperti
ini tidak diatur di dalam UUPTEP atau aturan pidana khusus lainnya yang
mengatur pertanggungjawaban korporasi. Dengan adanya pengatur seperti itu, maka
dengan jelas hakim mempunyai dasaa hukum yang jelas untuk menentukan pidana
yang akan dijatuhkan terhadap korporasi.
C. Sansksi Pidana
Sanksi pidana dalam
Undang-Undang kepabeanan ini lebih sederhana karena seluruh ancamannya menganut
sisem kumulatif yakni pidana penjara dan kurungan dijatuhkan sekaligus. Dari
segi pidana penjara ancaman dalam undang-undang ini relatif lebih ringan yakni
paling tinggi hanya delapan tahun. Sanksi pidana lebih banyak ditekankan pada
pidana denda, hal itu mencerminkan bahwa sanksi penjara dalan tindak pidana
kepabeanan ini bersifat ultimum remedium, sehingga penekanananya lebih pada
pemasukan keuangan ke kas negara.
Salah satu
pengaturan sanksi pidana dalam undang-udang ini adalah diaturnya sanksi pidana
yang dapat dijatuhkan kepada korporasi, yakni seperti diatur dalam pasal 108
ayat (4). Menurut ketentuan pasan tersebut terhadap korporasi hanya dapat
dijatuhkan pidana denda. Ketentuan pasal 108 ayat 4 tersebut, sedikit
membingungkan karena perumusan pasal yang menyatakan:
“ …. Pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
jika atas tindak pidana tersebut diancam
dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam
dengan pidana penjara dan pidana denda.”
Melihat perumusan
tersebut dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi hakim dapat
menjatuhkan dua pidana denda sekaligus, yakni yang pertama seperti dimaksud
dalam pasal tersebut yakni maksimal Rp.300.000.000,- yang kedua sesuai dengan
ketentuan pasal yang dilanggar.
Penjatuhan dua denda
sekaligus sebenarnya dapat dihindari dengan perumusan tersebut sanksi dengan
menggandakan pidana denda dari yang diatur dalam pasal yang dilanggar, menjadi
duakali lipat atau tiga kalinya. Penggandaaan pidana denda seperti ini sudah
dipakai dalam misalnya tindak pidana
perpajakan, namun dalam bentuk lain.
D. Ketentuan Acara
Unang-Undang No. 10
tahun 1995 ini juga mengatur ketentuan acara, khsusnya tentang penyidik dan
kewenangan penyidikan dan penhentian penyidikan.
Ketentuan Penyidikan
diatur dalam pasal 112:
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tententu di lingkungan
Direktorat Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan di atas
menegaskan bahwa penyidikan dalam tindak pidana kepabeanan dilakukan oleh penyidik
khusus yakni pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Bean dan
Cukai.
Menurut pasal 108
ayat (3) kordinasi penyidikan dilakukan dengan kejaksaan. Ketentuan ini
menyatakan bahwa:
Penyidik sebagimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menampaikan hasil penyidikan kepada
Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 8
tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana.
Pengaturan
koordinasi dengan kejaksaan ini inskostitensi dalam berbagai tindak pidana
khusus, karena sebagai menentapkan pemberitahuan dan penyampaian hasil itu
diserahkan kepada penyidik kepolisan bukan kepada kejaksaan seperti yang diatur
dalam pasal 40 ayat (4) undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
hidup.
Kewenangan penyidikan
diatur dalam pasal 108 ayat (2). Dalam tententuan tersebut terdapat sebanyak 16
kewenangan penyidik dalam tindak pidana kepabeanan ini. Kewenanagn ini lebih
banyak dari kewenangan penyidik seperti yang diaitur dalam KUHAP.
Namun seperti juga
kewenangan penyidik dalam berbagai perundangan khusus lainnya tidak diatur
kewenanangan penangkapan dan penahanan. Pada hal sebagian tindak pidanannya
diancam dengan pidana penjara lebih dari lima tahun, yang oleh KUHAP
dimungkinkan dilakukan penahahanSalah satu kewenangan penyidik dalam tindak
pidana kepabeanan ini adalah
menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 112 butir o.
Namun ketentuan tentang penyidikan juga ditur dalam pasal 113 yang menyatakan:
(1)
Untuk kepentingan penerimaan
negara, atas permintaan menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan
tindak pidana di bidang Kepabeanan.
1 komentar:
lebih baik di masukin daftar pustaka dr mana referensi ny di ambil .. trimakasih
Posting Komentar