ANALISA YURIDIS PERANCANGAN
KONTRAK YANG BAIK
D I S U S U N
OLEH :
CHRISYAN SAPUTRA
BP : 0910112156
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
UNIVERSITAS ANDALAS
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta alam semesta, manusia, dan
kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat,
taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan tema “ANALISA YURIDIS PERANCANGAN KONTRAK YANG BAIK ” yang
sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan
makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata
kuliah Perancangan Kontrak serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab
penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu. Emilda Kuspraningrum,
SH., Kn selaku dosen mata kuliah Perancangan Kontrak serta semua
pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat
penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang
manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan
hanya milik Tuhan hingga dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa
penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa
berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini
adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi
penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi Universitas Mulawarman. Amien
ya Rabbal ‘alamin.
Wassalalam,
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
Kata pengantar …………………………………………………………………
Daftar isi ………………………………………………………………………….
BAB I Pendahuluan .……………………………………………………………
BAB II ISI ……………………………………………………………………….
A. Syarat Sahnya Kontrak
B. Penyusunan Kontrak
C. Asas Asas Hukum Perjanjian
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Perjanjian adalah salah satu
bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian,
termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti
perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,dan perjanjian pinjam-meminjam.
Perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut
hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan
antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian
merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan Perikatan adalah suatu
pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret
atau suatu peristiwa.
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka
mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu
sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam
isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan
bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu
barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Kontrak (perjanjian) adalah suatu “peristiwa di mana seorang berjanji
kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal “. (Subekti, 1983:1).
Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan
hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata
lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat
tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan,
tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum,
kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi
terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW),
tepatnya dalam Buku III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul
dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang
misalnya tentang perbuatan melawan hukum.
Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian
dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian
khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang.
Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam
berbagai produk hukum. Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan
Presiden tentang Lembaga Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi
misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum lainnya.
Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak
adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk
membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum
ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan
tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang
menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
- Mengenai
terjadinya perjanjian
Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya
terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus,
consensualisme).
- Tentang
akibat perjanjian
Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu
sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa
perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang
bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
- Tentang
isi perjanjian
Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau
partijautonomie) yang bersangkutan.
Dengan kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang
berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian
itu diperbolehkan.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang menentukan bahwa :
“setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.
Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya
memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan.
Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di
dalam isi sebuah kontrak
BAB II
- A. Syarat
Sahnya Kontrak
Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat
hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani
Pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu
harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
- 1.
Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan. - 2.
Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian. - 3. Hal
tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas,
setidak tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini
penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah
timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk
apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya.
Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja,
tanpa penjelasan lebih lanjut.
- 4. Sebab
yang dibolehkan
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan
yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli
bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut.
KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat
kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan
mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU
Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis
- B.
Penyusunan Kontrak
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan
atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan
tersebut sudah dimulai.
Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prakontrak
- Negosiasi;
- Memorandum
of Undersatnding (MoU);
- Studi
kelayakan;
- Negosiasi
(lanjutan).
2. Kontrak
- Penulisan
naskah awal;
- Perbaikan
naskah;
- Penulisan
naskah akhir;
- Penandatanganan.
3. Pascakontrak
- Pelaksanaan;
- Penafsiran;
- Penyelesaian
sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya
terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses
upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah
proses tawar menawar berlangsung.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak. Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak. Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam
menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa
kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar
dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa,
baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan
sistematis.
Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan,
dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang
merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
(1) Judul;
(2) Pembukaan;
(3) Pihak-pihak;
(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);
(5) Isi;
(6) Penutupan.
Judul harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas misalnya Jual Beli
Sewa, Sewa Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Agreement. Berikutnya
pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut :
Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua
Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini.
Setelah itu dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama
pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi
perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat
tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jual beli sebagai
berikut :
- Nama ….;
Pekerjaan ….; Bertempat tinggal di …. dalam hal ini bertindak untuk diri
sendiri/untuk dan atas nama …. berkedudukan di …. selanjutnya disebut
penjual;
- Nama ….;
Pekerjaan ….; Bertempat tinggal di …. dalam hal ini bertindak untuk diri
sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama ….
berkedudukan di …. selanjutnya disebut pembeli.
Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya
kesepakatan (recital). Contoh perumusannya seperti ini :
dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah
membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek …. tipe …. dengan
ciri-ciri berikut ini : Engine No. …. Chasis …., Tahun Pembuatan …. dan Faktur
Kendaraan tertulis atas nama …. alamat …. dengan syarat-syarat yang telah
disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini.
Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak
yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka
tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban
pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati
bersama.
Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi
tersebut, baru dirimuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup,
misalnya, Demikianlah perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya atau
kalau pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis pada penutupan.
Misalnya :
Dibuat dan ditandatangani di …. pada hari ini …. tanggal …. Di bagian bawah
kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada).
Dan akhirnya diberikan materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap
lembaga masing-masing.
Jika kontrak sudah ditandatangani berarti penyusunan sudah selesai tinggal
pelaksanaannya di lapangan yang kadangkala isinya kurang jelas sehingga
memerlukan penafsiran-penafsiran.
C. Asas Asas Hukum Perjanjian
Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut
ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas
kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas
kepribadian (personality).
a) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui
antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J.
Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa
saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”.
Teori leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin
kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak
boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham
individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk
menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak
yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti
yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
b) Asas Konsensualisme (Concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer.
Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah
adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih
dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil
adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum
adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta
otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah
berkaitan dengan bentuk perjanjian.
c) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja
itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar
pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna
bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang
sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti
sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas
lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
d) Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik
nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan
sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua,
penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan
penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut
ini.
e) Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer
menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan
dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu
terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang
lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa
seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga,
dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318
KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga
untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk
kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak
dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang
pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.
PENUTUP
Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Subekti dan
Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa mengenai
hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, di mana hal tersebut
mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban
yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Sedangkan menurut
teori ilmu hukum, perjanjian digolongkan ke dalam hukum tentang diri seseorang
dan hukum kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang
untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu
perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang.
Istilah hukum perjanjian atau kontrak dalam bahasa Inggris yaitu contract
law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrech.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan.
Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Bentuk perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan
“Perikatan” adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
yang mana pihak satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum
antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan
perikatan.
Perjanjian atau kontrak adalah sumber perikatan dan hubungan hukum adalah
hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena
timbulnya hak dan kewajiban, di mana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan
kewajiban merupakan beban. Pada dasarnya, perjanjian menurut namanya dibagi
menjadi dua macam, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan inominaat (tidak
bernama). Kontrak nominaat (bernama) merupakan kontrak yang dikenal di dalam
KUHPerdata. Kontrak inominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal pada saat KUHPerdata
diundangkan.
Perjanjian batasannya diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Mengenai batasan
tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau
batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam
ketentuan pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu
luas yang mengandung banyak kelemahan-kelemahan.
Adapun kelemahan tersebut dapatlah diperinci: Pertama, Hanya menyangkut
perjanjian sepihak saja. Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Kata
“mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak
saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu
mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya di mana
setidak-tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas
nampak adanya konsensus/kesepakatan antara kedua belah pihak .yang membuat
perjanjian. Kedua, kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/kesepakatan.
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang
lain dan perbuatan melawan hukum.
Dari kedua hal tersebut di atas merupakan perbuatan yang tidak mengandung
adanya konsensus atau tanpa adanya kehendak untuk menimbulkan akibat hukum.
Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat lugas, karena sebetulnya maksud
perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum, yaitu
perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Dalam perumusan pasal itu tidak
disebutkan apa tujuan untuk perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya
itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa. Atas dasar alasan-alasan tersebut di
atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu.
Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu, rumusan Rutten
adalah perjanjian merupakan perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan
formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari
persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain
atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk
yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan
cukup secara lisan.
Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya
untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat
dengan tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai
terjadi persengketaan. Bila secara lisan sampai terjadi perselisihan, maka
sebagai alat pembuktian akan lebih sulit, di samping harus dapat menunjukkan
sanksi-sanksi, juga itikad baik pihak-pihak diharapkan dalam perjanjian itu.
Perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum, perbuatan hukum adalah
perbuatan-perbuatan di mana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan
hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang
itu. Yang penting dalam persesuaian kehendak itu adalah bahwa kehendak dari
kedua pihak bertujuan untuk terjadinya akibat hukum tertentu yang sesuai dengan
peraturan hukum. Jadi kehendak itu harus diketahui oleh pihak lain, kalau tidak
maka perjanjian tidak akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Salim H.S.,SH.,MS.
Subekti. Hukum Perjanjian. Cet. XII. PT. Intermasa. Jakarta. 1990.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. PT. Intermasa. Jakarta. 2003.
Supraba Sekarwati. Perancangan Kontrak. Iblam. Bandung 2001.
Sumber (http://www.asiamaya.com/konsultasi_hukum/ist_hukum/kontrak.htm )
0 komentar:
Posting Komentar