Oleh: Refki Saputra
Pernyataan
Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo yang membenarkan adanya bantuan
uang pengamanan yang diberikan pihak PT. Freeport Indonesia sungguh
mencengangkan. Ia berujar bahwa dana tersebut sebagai uang saku
anggotanya dilapangan dan bisa dipertanggungjawabkan, namun dilain
pihak, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono membantah hal tersebut.
Pihak PT. Freeport pun secara gamblang menyebutkan bahwa aktivitas memberikan
dukungan sukarela kepada petugas keamanan untuk mengamankan wilayah
perusahan tersebut sudah dilakukan bertahun-tahun (Kompas.com, 1/11).
Ditahun tahun 2010, perusahaan menghabiskan $ 14 juta dollar AS (Rp.
126 miliar) untuk untuk bantuan tersebut. Jumalahnya menjadi sangat fantastis
jika dikalkulasikan dalam kurun waktu 2001-2010 perusahaan ini sudah
mengeluarkan 79,1 juta dolar AS atau setara Rp 711 miliar.
Hal ini jelas mengonfirmasi bahwa aktivitas pengamanan “berbayar”
sudah menjadi kebijakan perusahaan yang dicatat dan dilaporkan dari
tahun ketahunnya. Mekanismenya diberikan
kepada tiap-tiap satuan, baik Kepolisian maupun TNI, baik berupa
pengadaan barang dan jasa dan sebagian dalam bentuk bantuan langsung
kepersonil.
Bisnis Keamanan
Sebagai
institusi negara yang menjalankan perintah undang-undang, baik TNI dan
Polri yang seharusnya bertanggungjawab kepada negara, tidak etis rasanya
jika menerima pemberian yang cukup besar dari suatu unit usaha
tertentu. Hal ini akan mempengaruhi profesionalitas TNI maupun Polri
dalam melaksanakan fungsinya. Setidaknya kecurigaan tersebut dapat
dilihat dari tindakan aparat dilapangan yang cenderung sebagai
“bodyguard” perusahaan daripada pengayom masyarakat. Relasi antara
kepentingan modal dengan keamanan terlihat tatakala perusahan
membutuhkan jaminan keamanan untuk berproduksi, dimana negara tak mampu
memberikan, maka pemodal berhubungan langsung dengan pihak keamanan
(Imparsial, 2011). Sulit dibantah bahwa persoalan ditanah papua lebih
mengedepankan pendekatan militeristik daripada ekonomi sosial dan
budaya.
Penyataan
Kapolri sesungguhnya telah menegasikan peran negara dalam melakukan
tugas-tugasnya. Secara tidak langsung Kapolri sudah melecehkan
institusinya dengan mengemis bantuan dari pihak luar negara. Jikapun ada
bantuan keuangan untuk institusi kepolisian, harus melalui mekanisme
yang diizinkan oleh undang-undang. Kita tahu bahwa anggaran belanja
publik termasuk lembaga negara semua sudah diatur dalam APBN yang
dibahas setiap tahunnya di DPR. Begitu juga TNI dan Polri, setiap
kegaiatan terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi negara (fungsi
pertahanan - keamanan) harus berdasarkan pos-pos anggaran yang sudah
disediakan bagi institusi masing-masing.
Dalam
Keppres No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional tidak
satupun ketentuan yang membolehkan TNI ataupun Polri menerima bantuan
langsung baik materil maupun immateril dalam upaya-upaya menjalankan
fungsinya. Dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa kepolisian wajib
memberi bantuan pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional. Jadi
pengamanan merupakan kewajiban konstitusional (constitutional obligation) aparat pertahanan dan keamanan dan bukan berdasarkan permintaan (demand).
Pada sektor energi dan sumberdaya mineral, kewajiban ini tidak hanya
diberikan kepada PT Freeport saja, melainkan kesemua objek-objek vital
nasional seperti yang dicantumkan dalam Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral No. 1610 K/02/MEM/2004 termasuk juga Pertamina dan
Perusahaaan Gas Negara. Maka dengan demikian, walaupun tidak ada
pemberian bantuan dari objek yang diamankan, kegiatan pengamanan wajib
dilakukan.
Indikasi Korupsi
Dari
keterangan yang disampaikan oleh pihak Freeport, sebetulnya ada
beberapa hal yang dinilai sangat janggal terkait dengan 80% dana yang
dikucurkan adalah dalam bentuk pengadaan barang dan jasa. Pertama, pihak
PT. Freeport hanya membutuhkan pengamanan terhadap kegiatan produksi.
Namun mengapa ia memberikan bantuan untuk membangun infrastruktur
keamanan di Papua. Pernyataan ini tentunya tidak konsisten antara
urgensi pengucuran dana dan kegunaannya dilapangan.
Kedua,
jika memang benar sebagian besar kucuran dana untuk infrastruktur,
tentunya hal ini sudah menyalahi aturan berkaitan dengan mekanisme
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dimana, setiap kegiatan pengadaan
barang dan jasa institusi pemerintah sudah diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan (PP No. 54 Tahun 2010 jo PP No. 35 Tahun
2011) yang harus melalui mekanisme anggaran di pemerintah dan DPR, bukan
hanya melalui transaksi dibawah tangan.
Ketiga,
jika sumber pengadaan barang dan jasa pemerintah bukan melalui dana
APBN/APBD bagaimana mekanisme kontrol dan pertanggungjawabannya. Hal ini
sangat mungkin dijadikan “bancakan” untuk memburu kekayaan pribadi para
petinggi TNI dan Polri baik di pusat maupun di daerah. Ditahun 2010 ini
saja jumlah dana yang dikucurkan untuk biaya pengamanan sebesar Rp. 126
miliar. Dana ini hanya dibagikan untuk 625 personel TNI dan Polri
dilapangan dengan masing-masing mendapat Rp. 1.250.000,/bulan. Maka
setahunnya hanya akan mengabiskan sekitar Rp. 9,3 miliar saja. Sementara
sisanya sekiatar Rp. 117 miliar didalihkan untuk pembangunan
infrastruktur yang belum jelas penggunaannya.
Adapun delik korupsi yang dilanggar dari praktik “culas” tersebut adalah dalam bentuk gratifikasi oleh pejabat negara. Pasal 12B ayat (1) Undang-undang No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 mengatakan, “Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.
Memang
kalau kita baca sepintas saja tidak ada yang salah dengan pemberian
bantuan tersebut karena hanya dianggap sebagai tambahan “uang saku”
aparat dilapangan dalam menjalankan tugas. Namun, ketika telisik lebih
dalam sebetulnya kegiatan aparat dilapangan sudah menyimpang dari tugas
dan kewenangan yang seharusnya dilakasanakan. Diamana aparat hanya
memberikan pegamanan bagi pihak yang memberikan kenikmatan (uang), bukan
lagi bertindak profesional menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan
untuk melindungi masyarakat, bangsa dan negara.
Institusi
keamanan sudah diperalat untuk mengintimidasi masyarakat sipil yang
menuntut haknya kepada PT Freeport, atau warga Papua yang menuntut
kesejahteraan dinegeri tempat berdirinya pabrik pendulang emas terbesar
di dunia versi Majalah Mining Internasional itu. Keberpihakan TNI dan Polri sudah jauh menyalahi aturan yang dilekatkan kepada mereka. Kondisi inilah yang dapat dipakai sebagai entry point untuk
mengusut kasus “bantuan berbayar” pengamanan PT. Freeport yang sudah
terjadi bertahun-tahun dan dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Dan mungkin saja praktik ini tidak hanya terjadi di PT. Freeport, namun
disemua objek-objek vital nasional yang lainnya. Maka sudah sepantasnya
pernyataan Kapolri tempo hari bahwa pemberian dana tersebut dapat
“dipertanggungjawabkan”, harus dimaknai oleh penegak hukum sebagai
pertanggungjawaban pidana bagi aparat yang menerima keuntungan dari
bisnis “pengamanan berbayar” ala aparat negara ini.
Sumber
:
http://ampukaki.blogspot.com/2011/11/pengamanan-berbayar-aparat-negara.html?showComment=1323711323979#c338693856960057082
0 komentar:
Posting Komentar