TINDAK PIDANA KORUPSI
“Power tend to corrupt and absolut power corrupts absolutely”
Pengantar
Mengawali tulisan perihal kurupsi, ungkapan usang yang dikemukakan
oleh Lord Action bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan
yang absolut cenderung korupsi absolut senagaja dikutip untuk
mengingatkan bahwa kekuasaan sangat rentan terhadap korupsi. Bahkan
empat tipe korupsi yang dikemukakan oleh Piers Beirne dan James
Messerschmidt semuanya berkaitan erat dengan kekuasaan. Keempat tipe
tersebut adalah :
a. Political bribery
Termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk
undang – undang, secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu
kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering
berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap
anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan
mereka.
b. Political kicback
Kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan
borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang
untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak – pihak yang bersangkutan.
c. Election fraud,
Korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.
d. Corrupt campaign practices
Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.
Terlepas dari rentannya kekuasaan terhadap korupsi, saat ini ketika
memasuki abad ke-21 visi masyarakat internasional termasuk Indonesia
terdapat kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan
praktek – praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya
deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7 11
September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93
negara.
Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration of 8 th
International Conference against corruption diyakini bahwa korupsi
mengerori tatanan moral masyarakat., mengingkari hak – hak sosial dan
ekonomi dari kalangan kurang mampu dan lemah. Demikian pula korupsi
dianggap menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum yang merupakan
dasar dari setiap masyarakat, memundurkan pembangunan dan menjauhkan
masyarakat dari manfaat persaingan bebas dan terbuka, khususnya bagi
kalangan kurang mampu.
Konferensi tersebut juga mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah
urusan setiap orang dari setiap masyarakat. Memerangi korupsi mencakup
pula mempertahankan dan memperkuat nilai – nilai etika dalam semua
masyarakat. Karena itu sangat penting untuk menumbuhkan kerjasama
diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak usaha swasta. Peran
dari masyarakat sipil adalah untuk menghilangkan resistensi yang muncul
dari pihak – pihak yang menyukai status quo dan untuk memobilisasi
masyarakat umum untuk melakukan reformasi guna memberantas korupsi.
Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The Negotiation Of
The United Nation Conventions Against Corruption sejak tanggal 1
Oktober 2003 lebih kurang 107 negara telah menyetujui korupsi sebagai
transnational crime. Indonesia termasuk salah satu negara yang telah
menyetujui Convention Against Corruption yang diselenggarakan di Wina
tersebut. Ulasan selanjutnya akan membahas pengertian korupsi dan
perkembangan peraturan yang menyangkut pemberantasan korupsi sejak tahun
1957.
Pengertian Korupsi
Dilihat dari segi peristilahan, kata korupsi berasal dari bahasa latin
corruptio atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal
corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah
turun ke banyak bahasa du Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt;
Perancis corruption, dan Belanda corruptie (korruptie). Dapat diduga
istlah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke
dalam bahasa Indonesia “korupsi”.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti
dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary: corruption (L.
Corruptio (n-) The act of corrupting or the state of being
corrupt;putrefactive decomposition. Putrid matter; moral perversion;
depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceeding,
bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a
language; a debased from of a word”.
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam kamus Umum
Bahasa Indonesia “ Korupsi adalahperbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia
tidak dugunakan kata korupsi melainkan kata peraturan “ anti
kerakusan”. Sering pula malaysia menggunakan istilah resuab yang
tentulah berasal dari bahasa Arab (riswab). Menurut kamu Arab-Indonesia
riswab artinya sama dengan korupsi. Dengan pengertian korupsi secara
harafiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi
itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti disimpulkan dalam
Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam
ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah
korupsi bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita
mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologi misalnya, seperti hal yang
dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of
Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif,
begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan
nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam klasifikasinya memasang
keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi syarat untuk
itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum
pidana.
Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan ekonomi yang mengutip pendapat Smith sebagai berikut.
Of the whole corruption in Indonesia appears to present more of a
recurring political problem than a economic one. It undermines the
legitimacy of the government in the eyes of the young, educated elite
and most civil servant. Corruption reduces support for the government
among eliles at the province and regency level. (Secara keseluruhan
korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari
pada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimana
generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya.
Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di
tingkat propinsi dan kabupaten).
Meluasnya kejahatan korupsi di Indonesia telah terjadi sejak orde lama
dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. Hal ini setidaknya dapat
dilihat dari latar belakang munculnya beberapa peraturan tentang
pemberantasan korupsi. Setelah KUHP dirasakan tidak mampu lagi menjerat
pelaku kejahatan korupsi, peraturan perundangan yang menjadi dasar
penanggulangan kejahatan ini telah silih berganti. Upaya perbaikan yang
menyangkut perumusan delik, perluasan perbuatan, perluasan subyek delik,
maupun hukum acara agar mampu menjangkau pelaku korupsi telah
dilakukan.
Peraturan Penguasa Perang Pusat
Pada tanggal 14 Maret 1957 seluruh wilayah Indonesia termasuk semua
perairan teritorialnya dinyatakan dalam keadaan darurat perang (Staat
Oorlog van Beleg) melalui Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 1957.
selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1957 dengan Keputusan Presiden
Nomor 225 Tahun 1957 keadaan perang tersebut dicabut kembali dan
seketika itu pula dinyatakan dalam keadaan perang. Dengan Undang-Undang
Nomor 79 Tahun 1957 ternyata Keputusan presiden Nomor 225 Tahun 1957
disahkan oleh DPR, sehingga dengan demikian keadaan perang diseluruh
wilayah Republik Indonesia termasuk semua teritorial perairannya itu
tetap berlaku sampai satu tahun sejak disahkannya dengan undang-undang
(lihat Undang-Undang Nomor 74 1957).
Sehubungan dengan peryantaan keadaan perang telah disahkan menjadi
undang-undang, maka penguasa perang seperti yang disebutkan dalam Pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 mempunyai kekuasaan untuk
membuat peraturan-peraturan. Diantara sekian banyak peraturan yang
dibuat oleh penguasa perang tersebut terdapat Peraturan Penguasa Militer
tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor
Prt/PM/03/1957. dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/011/PM/1957.
Pertimbangan dari peraturan yang pertama diatas (9 April 1957 Nomor
Prt/PM/06/1957) menyatakan antara lain: Bahwa berhubung tidak adanya
kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai
dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk
dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan
seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dapat diketahui adanya usaha untuk
pertama kali memakai istilah ‘korupsi’ sebagai istilah hukum dan memberi
batasan pengertian korupsi sebagai berikut, Perbuatan-perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Dalam kaitan dengan berlakunya Pasal 60 Undang-Undang Nomor 74 Tahun
1957 tentang Keadaan bahaya, ketiga peraturan penguasa militer tersebut
diatas menurut hukum pada tanggal 17 April 1958 akan tidak berlaku lagi,
maka diganti dengan peraturan pemberantasan Korupsi Prn Penguasa Perang
Pusat Nomor Prtl Peperpul 013/1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada
tanggal 16 April 1958 dalam Berita Negara Nomor 40/1958. pertimbangan
peraturan ini, khususnya pada butir a dinyatakan, “Bahwa untuk
perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau
badan hukum yang mempergunakan modal dan atau keloggaran-kelanggaran
lainnya dari masyarakat misalnya bank, wakaf dan lain-lain atau yang
bersangkutan dengan kedudukan si pembuatan pidana, perlu diadakan
tambahan berupa peraturan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang
dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.
Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pembuat
peraturan masih berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang
terdahulu agar lebih efektif dalam memberantas korupsi. Fokus dari
peraturan ini adalah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu
menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan atau keloggaran yang lain dari masyarakat. Hal
ini dapat dimengerti karena pada saat pembuatan peraturan itu (sekitar
1957 – 1958) sedang ramai-ramainya pengambilalihan dan pengurusan
perusahaan-perusahaan milik Belanda menjadi perusahaan Negara. Dari
pertimbangan itu pula dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP saja tidaklah
cukup untuk menampung segala masalah yang timbul berhubungan dengan
perbuatan yang merugikan keuangan itu.
Kemudian peraturan tersebut di atas diberlakukan untuk wilayah hukum
Angkatan Laut dengan surat keputusan kepala staf Angkatan laut Nomor
Z/1/1/7, Tanggal 17 April 1958 (Berita Negara Nomor 42 Tahun 1958).
Menarik dari ketentuan peraturan penguasa perang pusat (Angkatan Darat
dan Laut) tersebut adalah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada
bagian I Pasal 1 yang dijabarkan pada pasal 2 dan pasal 3. dalam
pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa perbuatan korupsi terdiri atas
perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi lainnya (pasal 1).
Dalam penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perbuatan korupsi pidana adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan
modal dan kelonggaran – kelonggaran masyarakat.
b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang
dilakukan dengan menyalagunakan jabatan atau kedudukan.
c. Kejahatan – kejahatan tercantum dalam pasal 40 sampai dengan pasal 50
peraturan penguasa perang pusat ini dalam pasal 209, pasal 210, pasal
418, pasal 419 dan pasal 420 KUHP (pasal 2).
Batasan pengertian perbuatan korupsi dalam perkembangan selanjutnya
unsur – unsur perbuatan korupsi diambil alih oleh undang – undang yang
lahir kemudian sebagai unsur delik dengan perbaikan redaksi serta
penambahan delik-delik dari KUHP. Bila ditinjau dari apa yang tercantum
pada penjelasan sub a tersebut diatas, maka unsur pertama dari korupsi
adalah dengan atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran.
Sedangkan unsur kedua yaitu, memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
Berdasarkan kedua unsur tersebut, pembuat peraturan tidak
menjelaskan kejahatan atau pelanggaran macam apa yang dimaksud. Dengan
demikian batasan korupsi menjadi sangat luas yang penting adalah membawa
akibat memperkaya diri dan seterusnya.
Sementara yang dimaksud dengan korupsi pidana oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dijelaskan dalam Pasal 3 sebagai berikut:
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau
daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan
modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Berdasarkan pasal tersebut, yang menjadi pertanyaan penting ialah
apakah yang dimaksud oleh pembuat peraturan dengan perkataan melawan
hukum. Apakah ini terjemahan dari istilah onrechmating menurut hukum
perdata ataukah wederreshtelijk menurut hukum pidana? Apabila melawan
hukum sebagai terjemahan dari onrechmatige, maka disitu dianggap sebagai
perbuatan perdata, bukan sebagai perbuatan pidana. Namun demikian unsur
melawan hukum tidak dimaksudkan sebagai inrechtmating, tetapi memiliki
pengertian formal wederrechtelijk dan materiaal wederrechtelijk.
Perlu dijelaskan bahwa melawan hukum adalah salah satu unsur mutlak dari
perbuatan pidana. Biasanya unsur tersebut tidak perlu dinyatakan secara
eksplisit dalam suatu rumusan delik. Apabila kata melawan hukum
dimasukkan dalam rumusan delik, maka konsekuensinya unsur tersebut harus
dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan. Kata melawan
hukum yang terdapat dalam suatu rumusan delik memberikan makna melawan
hukum khusus. Selain melawan hukum khusus, kata melawan hukum mempunyai
tiga makna lainnya. Pertama, melawan hukum umum dalam pengertian melawan
hukum sebagai elemen atau unsur perbuatan pidana. Kedua, melawan hukum
formal dan yang ketiga adalah melawan hukum material sebagaimana
tersebut diatas.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat
tentang pemberantasan korupsi hanya bersifat darurat, temporer dan
berlandaskan pada undang-undang Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal
peraturan itu perlu dicabut dan jika masih dibutuhkan adanya peraturan
tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus, perlu
disusun dalam bentuk suatu undang-undang. Undang-undang yang dimaksudkan
adalah Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 tentang Pengusutan, penuntutan
dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pada awalnya, Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 berbentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang
Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang
sudah ada sebelum Tanggal 1 Januari 1961 menjadi Undang-Undang.
Definisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut
dirumuskan dalam Pasal 1 menyatakan: Pertana, Tindakan seseorang yang
dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah
atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Kedua, Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu
kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Ketiga, Kejahatan tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21 Peraturan ini
dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Apabila dicermati, rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960
tidak banyak berbeda dengan peraturan penguasa perang tersebut diatas.
Perumusan perbuatan korupsi pidana pasal 1 sub a (pertama) ternyata
hanya mengambil alih peraturan sebelumnya dengan redaksi yang sepenuhnya
sama, hanya saja perbuatan diganti dengan kata tindakan, karena
undang-undang tersebut memakai istilah “tindak pidana” bukan “perbuatan
pidana”. Kemudian rumusan langsung atau tidak langsung merugiukan
keuangan negara dan seterusnya diganti dengan yang dilakukan dengan
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Pada sub c (ketiga) ditunjuk kejahatan yang tercantum dalam pasal 41
sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat, dan Pasal-Pasal KUHP yang
dimaksud adalah pasal 209, 210, 418 dan 420 KUHP. Pasal-pasal tersebut
berkaitan dengan penyuapan baik yang aktif (active amkoping), maupun
yang pasif (passive omkoping). Kejahatan yang dipandang korupsi tetapi
tidak dimasukkan dalam undang-undang tersebut adalah pasal 415 KUHP
tetang penggelapan oleh pegawai negeri. Mungkin pembuat peraturan
tersebut memandang bahwa kejahatan seperti itu sudah terangkum dalam sub
a, seperti telaj diuraikan di depan. Penggelapan oleh pegawai negeri
termasuk kejahatan yang sudah barang tentu merugikan keuangan atau
perekonomin negara. Permasalahannya apakah orang itu memperkaya diri
atau orang lain atau suatu badan dengan perbuatan penggelapan itu.
Perumusan sub c (ketiga) ini pun tercantum dalam Undang-Undang (PRP)
Nomor 24 tahun 1960, dengan mengganti pasal 40 sampai 50 peraturan
Penguasa Perang Pusat menjadi pasal 17 dan 21, sesuai dengan apa yang
terdapat dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dimasukkan
pasal-pasal KUHP yang bertalian dengan suap menyuap dan diperluas,
sehingga meliputi pula pasal-pasal 1415, 416, 417, 423, 425, 435 KUHP.
Memang ini menjadi kekurangan Peraturan Penguasa Perang Pusat karena
penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi
disamping masalah suap menyuap (209, 210, 418, 419, dan 420). Demikian
pula dengan pasal 423, dan pasal 425 merupakan bentuk extortion yang
disebut knevelary.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai ketentuan undang-undang nomor 24 tahun 1960 dalam
perkembangannya dirasakan tidak mampu untuk menyelamatkan keuangan dan
perekonomian negara. Oleh karena itu perlu diganti dengan undang-undang
baru tentang pemberantasan korupsi yang meliputi ketentuan-ketentuan
tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pindana korupsi.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam undang-undang nomor 24 tahun
1960 tidak lagi dapat menjerat perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan nasional.
Hal ini diakibatkan unsur tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya
suatu kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang
bersangkutan. Jelas hal ini bertentangan dengan perasaan keadilan
masyarakat. Dalam kenyataannya banyak perbuatan yang merugikan keuangan
dan perekonomian negara, tidak selamanya didahului oleh suatu kejahatan
atau pelanggaran. Perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat
koruptif tidak dapat dipidana berdasarkan undang-undang nomor 24 tahun
1960.
Atas dasar tersebut, undang-undang nomor 24 tahun 1960 kemudian diganti
dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1971. rumusan tindak pidana korupsi
menurut undang-undang nomor 3 tahun 1971 mencakup perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan
secara melawan hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau
patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro
parte dolus pro parte culpa. Artinya, bentuk kesalahan disini tidak
hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan
berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara,
sudah dapat menjerat pelaku. Rumusan seperti ini mudah dalam hal
pembuktian. Demikian pula dengan sarana melawan hukum, baik mengandung
pengertian melawan hukum formil maupun materil, memudahkan pembuktian
perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan. Jelas sekali bahwa rumusan seperti itu lebih
mudah untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi dari pada
memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan atau
pelanggaran sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang nomor 24
tahun 1960.
Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Momor 3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara,
atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
c. Barangsiapa melaukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210,
387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423 dab 435 KUHP.
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si
pemberi hadiah atau janji dianggap melekay pada jabatan atau kedudukan
itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang
diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419
dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib.
f. Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan
tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal
ini.
Dari rumusan tersebut diatas jelaslah bahwa undang-undang nomor 3
tahun 1971 lebih progresif bila dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya. Beberapa catatan perihal progresif dari undang-undang
tersebut adalah: Pertama, unsur melawan hukum tindak pidana korupsi
dirumuskan sedemikian rupa hingga meliputi perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, baik secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kedua, undang-undang tersebut tidak lagi mensyaratkan adanya
kejahatan atau pelanggaran seperti undang-undang sebelumnya. Ketiga,
terdapat tambahan pasal 387 dan pasal 399 KUHP. Keempat, adanya ancaman
pidana terhadap orang yang menerima pemberian atau janji seperti
tersebut padal pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian
atau janji tersebut kepada yang berwajib. Kelima atau yang terakhir
adalah percobaan dan permufakatan jahat disamakan dengan pelaku.
Selain itu perlu dicatat bahwa dalam undang-undang tersebut terdapat
perluasan pengertian pegawai negeri. Dalam pasal 2, pengertian pegawai
negeri meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari
keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu
badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Latar belakang dicantumkannya perluasan pengertian pegawai negeri
adalah karena berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini, orang-orang
bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi, dengan
menerima tugas tertentu dari suatu badan negara atau badan yang menerima
bantuan dari negara, dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan korupsi
atau perbuatan tercela seperti tersebut diatas.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bola salju yang tengah digulirkan pasca runtuhnya rezim orde baru pada
tahun 1998, salah satunya diantaranya adalah mewujudkan pemerintahan
yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini sebagai dampak
bahwa perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat
besar. Dampak selanjutnya adalah timbulnya krisis di berbagai bidang
kehidupan. Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi
perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Atas dasar tersebut, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti, karena dirasakan
sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi canggihnya modus operansi
perbuatan korupsi. Diharapkan undang-undang yang baru mampu memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak
pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, (pasal 2).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 3).
3. Melakukan perbuatan pidana menurut pasal 209, 210, 387, 388, 515,
416, 417, 418, 419, 420, pasal 423, pasal 425, pasal 435 (Pasal 5 s.d
12)
4. Setiap orang yang memberikan hadia atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).
5. Setipa orang yang melanggar ketentuan Undang – Undang yang secara
tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang – Undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur
dalam Undang – Undang ini (Pasal 14).
6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidanakan dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 pasal 3, pasal 5 sampai
dengan pasal 14.
7. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku
tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai
dengan pasal 14.
8. Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.
Selain memperluas pengertian perbuatan yang dapat
dikualifikasikan sebagai korupsi, undang – undang juga menegaskan bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 4).
Meskipun berlebihan penegasan ini penting karena kerugian keuangan
negara merupakan salah satu unsur esensial dalam perbuatan pidana
korupsi. Dengan ketentuan itu, perbuatan pidana korupsi tidak dihapuskan
sekalipun kemudian unsur kerugian negara tidak terbukti di pengadilan,
karena telah dikembalikan oleh tersangka.
Dikatakan berlebihan karena prinsip dalam hukum pidana yang dituntut
adalah perbuatannya, bukan karena soal adanya kerugian. Walaupun
demikian kiranya perlu diberi catatan, apabila pengembalian atas
perbuatan yang dinilai sebagai tindak pidana korupsi itu dikembalikan
secara suka rela tanpa adanya unsur dari luar sebelum perkara itu
diketahui oleh publik atau aparat penegak hukum, maka atas pengembalian
secara suka rela tersebut tidak dapat menjadi dasar penuntutan. Terhadap
pengembaian secara suka rela sebelum perkara itu diketahui publik atau
aparat penegak hukum, seharusnya diperlakukan sebagai sifat melawan
hukum dalam fungsi yang negatif.
Adapun pemberatan pidana menurut undang-undang ini selain ancaman
pidana yang lebih berat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya,
undang-undang ini juga sebelumnya, undang-undang ini juga memberikan
pemberatan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a. Terhadap perbuatan pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan
tertentu. Ancaman pidanya dapat berupa pidana mati. Adapun yang
dimaksudkan dengan keadaan tertentu ialah keadaan dimana negara:
- Ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku
- Terjadi bencana alam nasional
- Pengulangan tindak pidana korupsi dan
- Dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter
b. Apabila oleh undang-undang lain dinyatakan sebagai perbuatan korupsi, maka diberlakukan undang-undang
c. Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama
d. Orang di luar negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan
pidana yang sama dengan pelaku
e. Dilakukan dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
f. Dalam perkara pidana korupsi selain pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan
berupa: pertama, perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Kedua, pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam tenggang waktu
satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut. Namun apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti, maka dipindana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya yang sudah ditentukan
dalam putusan pengadilan. Ketiga, penuntutan seluruh atau sebagai
perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Pada tanggal 21 November 2001 melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut,
tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Hal ini dikarenakan
kejahatan korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat. Disamping itu juga terdapat perubahan dan tambahan
menyangkut rumusan perbuatan maupun ketentuan perihal pembuktian.
Jika bersandar pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 beberapa pasal
dalam KUHP diambil alih dengan menyebutkan sebagaimana dimaksud dalam
KUHP. Akan tetapi dengan undang-undang yang baru langsung disebutkan
unsurnya, tanpa menyebut KUHP. Persoalan ini menimbulkan silang pendapat
sehubungan dengan adanya asas yang menyatakan apabila terdapat
ketentuan yang sama, maka kepada terdakwa harus dikenakan pidana yang
paling ringan. Di samping itu berkaitan dengan rumusan perbuatan
korupsi, undang-undang juga menambahkan perbuatan gratifikasi sebagai
tindak pidana korupsi. Gratifikasi adalah perbuatan yang dapat berupa
pemberian uang, tiket perjalanan, barang, rabat, komisi, pinjaman
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Adapun perihal pembuktian terdapat perluasan mengenai sumber
perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat
bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa. Akan tetapi menurut undang-undang tersebut, bukti
petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada
data penghubung elektronik (electronic data inter change), surat
elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan fasimili, dan dari dokumen
yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan
atau di dengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan lain adalah menyangkut pembuktian terbalik yang bersifat
premium remidium dan sekaligus memgandung sifat prevensi khusus.
Pembuktian terbalik mengandung arti bahwa terdakwalah yang harus
membuktikan di pengadilan bahwa dia tidak melakukan korupsi. Sementara
prevensi, khusus ditunjukkan terhadap pegawai negeri sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi yang sudah akut, dirasakan tidak cukup hanya
dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi serta
cara-cara yang konvensional. Diperlukan metode dan cara tertentu agar
mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara ialah dengan
menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luas biasa, sehingga
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi
dituntut cara-cara yang luar biasa. Oleh karena itu diperlukan metode
penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan
khusus. Kewenangan badan khusus tersebut bersifat independen serta bebas
dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional serta berkesinambungan.
Sebenarnya pembentukan badan khusus tersebut telah diamanatkan oleh
pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001. badan khusus itu selanjutnya disebut dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya badan ini memiliki
kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Agar tidak terjadi tumpang
tindih kewenangan dengan penegak hukum yang lain seperti POLRI dan
Kejaksaaan, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi
tindak pidana korupsi yang:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang
kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara
efisien dan efektif.
2. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
3. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism).
4. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah
ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan
wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (superbody) yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian dan atau kejaksaan.
Selain itu, dalam upaya pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi
telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara
lain :
1. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas
pembuktian terbalik.
2. Ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat
melakukan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap
penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya
selaku pejabat negara
3. Ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi
kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan
Badan Pemeriksa Keuangan.
4. Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap anggota
komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan
korupsi, dan
5. Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat
independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari
lima orang yang merangkap sebagai anggota dan semuanya adalah pejabat
negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur
masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan
dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi
persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and
proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Disamping itu untuk menjamin penguatan pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasehat
yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan
nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang
mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi
Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga
memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam
aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan
secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan
Korupsi yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi, maka perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi
Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan
jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi disamping mengikuti hukum
acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam undang-undang ini dimuat
hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di
samping itu, untuk meningkatkan efisienso dan efektivitas penegakan
hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam undang-undang ini
diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di
lingkungan peradilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan
umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3
(tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dan proses pemeriksaan baik di
tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim
yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan
jangka waktu secara tegas.
Blogingria adalah sebuah blog pribadi yang ditujukan khusus dalam masalah yang ada dalam kuliah hukum dan seputaran hukum yang ada di sekitar kita. Semoga tulisan yang ada bermanfaat bagi pembaca dan khususnya penulis sendiri.
Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com
Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar