oleh
Sudikno Mertokusumo
Pengantar
Peradilan
akhir-akhir ini memang menjadi sorotan tajam masyarakat, karena
diharapkan merupakan "benteng terakhir" bagi para pencari keadilan,
sebab fungsi peradilan dimaksudkan sebagai benteng terakhir ("laatste toevlucht")
bagi setiap pencari keadilan setelah tidak berhasil menempuh atau
menggunakan jalur-jalur atau upaya-upaya hukum lainnya, tetapi
kenyataannya dewasa ini pengadilan tidak atau belum memenuhi harapan.
Jalannya peradilan tidak cepat seperti yang diharapkan, sehingga dengan
berlarut-larutnya jalannya peradilan beaya berperkara akan meningkat,
sehingga asas beaya ringan tidak terpenuhi.
Beracara di pengadilan
tidaklah sederhana: berbelit-belit. Banyak putusan pengadilan yang tidak
memuaskan, karena pertimbangan hukumnya terlalu sumir, penemuan
hukumnya tidak tepat, terlalu formalistis, kurang profesional dan
sebagainya. Belum lagi yang menyangkut kebebasan dan integritas hakim.
Seperti
yang telah umum diketahui maka sudah sejak kurang lebih tahun 80an
keadaan peradilan kita tidak seperti yang diharapkan. Di dalam praktek
dewasa ini hakim boleh dikatakan tidak bebas dalam menjalankan tugasnya.
Sekalipun tidak dapat dibuktikan secara langsung hal ini terasa dan
ternyata dari adanya tekanan-tekanan ekstern seperti suap, pernyataan
pejabat mengenai terbukti tidaknya suatu perkara yang sedang diperiksa
di pengadilan, ancaman-ancaman, kolusi, dan juga tekanan-tekanan intern
yang berupa campur tangan dalam penyelesaian perkara seperti adanya
surat sakti, tilpun sakti dan sebagainya. Kebebasan hakim seperti yang
diatur dalam pasal 4 ayat (3) UU no.14 tahun 1970 belumlah dapat kita
nikmati sepenuhnya. Karena adanya campur tangan itu kiranya hakim tidak
dapat bersikap objektif
Kalau dikatakan bahwa pengadilan diharapkan
merupakan benteng terakhir bagi pencari keadilan bukan berarti bahwa
melalui benteng terakhir setiap pencari keadilan, baik para pihak dalam
perkara perdata maupun terdakwa dalam perkara pidana, selalu dimenangkan
atau dibebaskan, yang memang tidak mungkin, melainkan yang dimaksudkan
adalah bahwa setiap pencari keadilan mendapat perlakuan hukum yang fair,
layak atau adil di pengadilan.
Yang sering dipermasalahkan dalam
pertemuan-pertemuan ilmiah akhir-akhir ini ialah apakah dewasa ini ada
kemandirian atau kebebasan hakim. Apakah hakim itu bebas untuk mengadili
dan bebas dalam mengadili dalam arti bebas dari pengaruh apa atau
siapapun? Mengingat bahwa hakim itu mempunyai dua "kepala", yaitu
Mahkamah Agung dan Departeman Kehakiman (pas. 11 UU no.14 th 1970)
apakah hal itu menjamin kebebasan hakim? Apakah tidak seyogyanya hakim
itu hanya mempunyai satu "kepala" saja? Bagaimanakah sistem peradilan
atau struktur lembaga kehakiman yang baik atau ideal untuk menjamin
kebebasan hakim? ltulah pertanyaan-pertanyaan yang diharapkan terjawab
juga dalam temu ilmiah sekarang ini. IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia)
dalam memorandumnya dalam Mukernas tanggal 23 Oktober 1996 di Ujung
Pandang mengetengahkan bahwa Kekuasaan Kehakiman belum merupakan
kekuasaan negara yang utuh, tetapi dapat dikatakan terpecah menjadi dua
bagian, yaitu Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama
dengan kekuasaan eksekutif (Departemen Kehakiman), yang mengakibatkan
timbulnya berbagai macam persoalan tumpang tindihnya wewenang berupa
gejala "kurangnya keserasian hubungan" yang bersifat terselubung dalam
melaksanakan Kekuasaan Kehakiman yang sampai sekarang terus berlangsung
dan tidak/belum adanya penyelesaian yang tuntas dan menghimbau untuk
meninjau dan mengaturnya kembali kedudukan dan fungsi Kekuasaan
Kehakiman.
Pembahasan
Yang
dimaksudkan dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak tergantung
kepada apa atau siapapun dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa
atau siapapun. Hakim atau peradilan, yang merupakan tempat orang mencari
keadilan, harus mandiri, independen, dalam arti tidak tergantung atau
terikat pada siapapun, sehingga tidak harus memihak kepada siapapun agar
putusannya itu objektif. Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara harus bebas. Dengan demikian
kemandirian hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim, tetapi
merupakan satu kesatuan. Adapun yang dimaksudkan dengan kebebasan hakim
adalah bebas dalam memeriksa dan memutus perkara menurut keyakinannya
serta bebas pula dari pengaruh pihak ekstra yudisiil. Ia bebas
menggunakan alat-alat bukti dan bebas menilainya, ia bebas pula untuk
menilai terbukti tidaknya suatu peristiwa konkrit berdasarkan alat bukti
yang ada, ia bebas untuk berkeyakinan mengenai jenis hukuman apa yang
akan dijatuhkan dan bebas pula dari campur tangan dari pihak ekstra
yudisiil.
Kemandirian dan kebebasan hakim bukan hanya merupakan
cita-cita dan dambaan saja bagi setiap bangsa, tetapi merupakan prinsip
atau asas dalam setiap sistem peradilan, karena asas merupakan
pengejawantahan cita-cita manusia. Setiap sistem peradilan di mana pun
mengenal dan menganut asas kemandirian dan kebebasan hakim atau
peradilan.
Mengenai kebebasan hakim, sejarah atau kenyataan
menunjukkan bahwa sekalipun hakim itu pada asasnya bebas, tetapi
kebebasannya tidak mutlak. Kebebasan hakim itu dibatasi baik secara
makro maupun secara mikro. Faktor-faktor yang membatasi hakim secara
makro ialah sistem politik, sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan
sebagainya. Faktor-faktor yang membatasi hakim secara mikro ialah
Pancasila, UUD, undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan dan
kepentingan para pihak. Jadi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD, undang-undang,
ketertiban umum, kesusilaan dan kepentingan para pihak.
Tentang
lembaga kehakiman pengaturannya kita jumpai dalam pasal 24 dan 25 UUD.
Pasal 24 ayat 1 berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang,
sedangkan ayat 2 berbunyi: Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman
itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25 berbunyi:
Syarat-syarat
untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang. Jadi lembaga kehakiman atau kekuasaan kehakiman mendapat
tempat yang khusus dan utuh dalam UUD, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung. Sudah tentu dua pasal dari UUD
tersebut masih memerlukan peraturan organik atau peraturan pelaksanaan.
Peraturan pelaksanaan itu dituangkan dalam UU no.14 tahun 1970 (lihat
pas. 11), jo. UU no.19 tahun 1964 (khususnya konsiderans bagian
"mengingat" dan pasal 7 ayat (3)) yang pada dasarnya menentukan bahwa
badan yang melakukan peradilan secara organisatoris, admininstratif dan
finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang
bersangkutan, sedangkan Mahkamah Agung mempunyai organisasi,
administrasi dan keuangan sendiri. Dari apa yang diuraikan di atas maka
dapat disimpulkan bahwa UU no.19 tahun 1964 tidak memenuhi kehendak UUD.
UUD menghendaki kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung, sedangkan UU no.14 tahun 1970 menentukan bahwa badan yang
melakukan peradilan (kecuali Mahkamah Agung) secara organisatoris,
administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing
Departemen yang bersangkutan. Jadi menurut UU no.14 tahun 1970 hakim
secara teknis ada di bawah Mahkamah Agung sedangkan secara
organisasatoris, administratif dan finansial ada di bawah Departemen,
yang memungkinkan timbulnya berbagai persoalan tumpang tindihnya
wewenang berupa gejala kurangnya keserasian hubungan. Secara
konstitusional agar hakim itu mandiri dan lebih terjamin kebebasannya
tidak selayaknya mempunyai dua atasan. Mengenai kebebasan hakim
ditentukan dalam UU no.14 tahun 1970 pasal 1, bahwa Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, sedangkan dalam pasal 4
ayat (3) ditentukan, bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan
oleh fihak-fihak lain di Iuar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar. Sayangnya
larangan ini tidak ada sanksinya.
Keadaan peradilan sebelum tahun 80an tidaklah seperti sekarang ini.
Keadaan
peradilan kita dewasa ini sangat memprihatinkan. Kalau dulu tidak
seperti sekarang ini, dimanakah letak kesalahannya? Pada sistemnya atau
pada sumber daya manusianya? Apakah yang harus atau dapat kita lakukan?
Kalaupun sistemnya dirasa perlu untuk diubah dengan mengganti
undang-undang yang bersangkutan, maka yang kiranya lebih mendesak atau
urgent untuk dilakukan ialah meningkatkan integritas serta pengetahuan
sumber daya manusianya, karena membuat atau merancangkan undang-undang
akan makan waktu yang lama dan beaya besar. Membuat undang-undang baru
atau mengubah sistem peradilan tidak akan ada artinya kalau sumber daya
manusianya tidak ditingkatkan integritas dan pengetahuannya. Lagi pula
perlu diingat, bahwa Kekuasaan Kehakiman itu tidak berdiri sendiri,
sebab masih ada Kejaksaan dan Kepolisian. Tegak tidaknya hukum tidak
dapat dimintakan tanggung jawab sepenuhnya kepada pengadilan (Kekuasaan
Kehakiman) saja, karena rnasing-masing unsur tidak berdiri sendiri lepas
satu sama lain. Atau kedua-duanya dapat ditempuh bersama-sama,
rnernpersiapkan undang-undang baru (yang akan berlangsung lama,
futuristik) dan segera meningkatkan integritas serta pengetahuan para
hakim.
Yogyakarta, 18 Maret 1997
Temu Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum Indoneia, Yogyakarta 17 - 20 Maret
SUMBER
Blogingria adalah sebuah blog pribadi yang ditujukan khusus dalam masalah yang ada dalam kuliah hukum dan seputaran hukum yang ada di sekitar kita. Semoga tulisan yang ada bermanfaat bagi pembaca dan khususnya penulis sendiri.
Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com
Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar