Sanksi
Hukum
1. Pendapat Para Pakar tentang Hukum dan
Sanksi
Bila kita berbicara mengenai sanksi, maka perhatian kita
memasuki ranah hukum positif. Hukum dan sanksi dapat diibaratkan dua sisi uang
yang satu saling melengkapi. Hukum tanpa sanksi sangat sulit melakukan
penegakan hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa norma sosial tanpa sanksi
hanyalah moral, bukan hukum, sebaliknya sanksi tanpa hukum dalam arti
kaidah akan terjadi kesewenang-wenangan penguasa.
Sanksi selalu terkait dengan norma hukum atau kaidah
hukum dengan norma-norma lainnya, misalnya norma kesusilaan, norma agama atau
kepercayaan, norma sopan santun (Zainuddin, 2008 : 43). Dengan sanksilah
maka dapat dibedakan antara norma hukum dengan norma lainnya sebagaimana
dikatakan oleh Hans Kelsen berikut, bahwa
Perbedaan
mendasar antara hukum dan moral adalah : hukum merupakan tatanan pemaksa, yakni
sebuah tatanan norma yang berupaya mewujudkan perilaku tertentu dengan
memberikan tindakan paksa yang diorganisir secara sosial kepada perilaku yang
sebaliknya; sedangkan moral merupakan tatanan sosial yang tidak memiliki sanksi
semacam itu. Sanksi dari tatanan moral hanyalah kesetujuan atas perilaku yang
sesuai norma dan ketidaksetujuan terhadap perilaku yang bertentangan dengan
norma, dan tidak ada tindakan paksa yang diterapkan sebagai sanksi, Kelsen (
2007 : 71)
Selain norma hukum, terdapat norma sosial yang mengatur
perilaku manusia terhadap sesamanya, yang biasa disebut ”moral” dan disiplin
ilmu yang ditujukan untuk memahami dan menjelaskannya disebut ”etika”. Antara
keadilan dan kepastian hukum tercakup hubungan moral dengan hukum positif. Bila
keadilan merupakan dalil atau tujuan dari moral, maka kepastian hukum merupakan
tujuan dari hukum positif. Di mana tidak ada kepastian hukum, di situ
tidak ada keadilan. Bila keadilan bersifat relatif, maka kepastian hukumlah
yang menjadi kebenaran. norma adalah sesuatu yang seharusnya ada atau
seharusnya terjadi, khususnya bahwa manusia seharusnya berprilaku dengan cara
tertentu ( Kelsen, 2007 : 5)
Sebuah negara merupakan sebuah komunitas hukum yang
berkeadilan. Bila keadilan sejati tidak ada, maka hukum juga tidak ada. Karena
apa yang diperbuat oleh hukum, diperbuat pula oleh keadilan, dan apa yang
dilakukan secara tidak adil, berarti terjadi pelanggaran hukum. ”Namun apakah
keadilan itu?” Keadilan adalah kebaikan yang memberikan apa yang menjadi hak
semua orang. Hukum merupakan tatanan pemaksa yang adil dan dibedakan dari
tatanan pemaksa pada kalangan perampok lantaran isinya yang berkeadilan. (
Kelsen, 2007 : 55 ).
Darji Darmodiharjo mengutip Lyons (1995 :14) bahwa ”Hukum
adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau
sebaliknya”. Hal ini bersesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Kelsen (2007 :
78 ) bahwa ”norma hukum bisa dianggap valid sekalipun ia berlainan dengan
tatanan moral.” Kemudian Darmodiharjo, mengutip John Austin , bahwa hukum
adalah perintah dari penguasa negara yang menentukan apa yang dilarang dan apa
yang diperintahkan. Kekuasaan penguasa itu memaksa orang lain untuk taat. Ia
memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku
orang lain kearah yang diinginkannya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat
unsur, yaitu (1) perintah (command), (2) Sanksi (sanction),
(3) kewajiban (duty),dan (4) kedaulatan (sovereignty). (
Darmodiharjo, 2006 :114 )
Kaum positivisme termasuk Hart memandang hukum sebagai
perintah dan menempatkan sanksi sebagai suatu yang melekat pada hukum,
mengaitkan antara unsur paksaan dengan hierarki perintah secara formal. Mereka
membedakan norma hukum dan norma-norma lainnya karena pada norma hukum
dilekatkan suatu paksaan atau sanksi. (Marzuki, 2008 :
73).
Hukum termasuk sollenskatagori atau sebagai
keharusan, bukan seinskatagori atau sebagai kenyataan. Orang menaati
hukum karena memang seharusnya ia menaati sebagai perintah negara. Melalaikan
perintah akan mengakibatkan orang itu berurusan dengan sanksi. Aliran hukum
positif memberikan penegasan terhadap hukum yaitu bentuk hukum adalah undang-Undang,
isi hukum adalah perintah penguasa, ciri hukum adalah sanksi, perintah,
kewajiban dan kedaulatan, sistematisasi norma hukum menurut Hans Kelsen adalah
hierarki norma hukum. Rasjidi, (2003:120-121)
Wirjono Prodjodikoro memberikan uraian terhadap hukum
pidana, bahwa
...ada dua
unsur pokok hukum pidana. Pertama, adanya suatu norma, yaitu suatu larangan
atau suruhan (kaidah). Kedua, adanya sanksi (sanctie) atas pelanggaran norma
itu berupa ancaman dengan hukum pidana...norma-norma yang disertai sanksi pidana
berada dalam salah satu atau lebih dari tiga bidang hukum, yaitu hukum perdata
(privaatrecht, burgerlijk recht), hukum tatanegara (staatsrecht), dan atau
hukum tata usaha negara (administratief recht). Prodjodikoro, (2009 : 13)
Menurut
pandangan positivisme hukum dari John Austin yang mengajarkan bahwa apa yang
disebut hukum adalah aturan yang dibuat oleh penguasa, suatu aturan tingkah
laku yang tidak dibuat oleh ”penguasa formal” bukanlah hukum, dan pada
masyarakat yang tidak mengenal organisasi formal tidak dikenal adanya hukum. (
Marzuki, 2008 : 49)
Pendapat para ahli tersebut di atas mengatakan bahwa
hukum adalah perintah negara melalui penguasa yang harus ditaati dan melekatkan
sanksi pada hukum. Antara hukum dan sanksi seakan-akan tidak ada pemisahan,
dapat diibaratkan sebuah mata uang logam, di mana sisi yang satu merupakan
bagian dari sisi yang lain. Bila suatu norma hukum tidak memiliki sanksi, maka
normanya hanya dapat dikategorikan sebagai norma moral.
2. Subjek Hukum
Subjek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan
kewajiban yang terdiri dari manusia atau natuurlijke persoon dan badan
hukum atau rechtspersoon (Tutik, 2006:50-54).
Sanksi tidak terlepas dari subjek hukum dan objek hukum
(perbuatan hukum). Objek hukum berupa perbuatan melawan hukum harus terlebih
dahulu dirumuskan unsur-unsurnya dalam suatu undang-undang atau hukum
tertulis baru sanksi dapat diterapkan, bila tidak, sulit untuk mencapai
kepastian hukum. Sanksi pun harus dituangkan ke dalam suatu rumusan undang-undang
atau hukum tertulis demi menjaga pelanggaran hak-hak asasi setiap individu dari
penguasa.
Di muka telah dipaparkan penjelasan para ahli bahwa
sanksi merupakan syarat mutlak adanya bagi suatu hukum. Beranjak dari paradigma
ini, kita akan berfokus pada 2 (dua) hal sebagai kunci pokok, yaitu perbuatan
yang dilanggar (perbuatan melawan hukum) dan pelaku atau subjek hukum yang
melakukan pelanggaran. Subjek hukum dapat berupa perseorangan (manusia atau natuurlijke
persoon) dan dapat juga sebagai korporasi. Korporasi dapat berbadan hukum
dan non-badan hukum. Badan Hukum terdiri atas Badan Hukum Publik dan Badan
Hukum Privat/perdata.
a.
Orang (natuurlijke persoon)
sebagai subjek Hukum
Setiap orang atau natuurlijke persoon sejak lahir
sampai dengan meninggalnya sebagai subjek hukum adalah pendukung hak dan
kewajiban. Zainuddin Ali mengatakan bahwa
Hukum berurusan
dengan hak dan kewajiban...Hak dan kewajiban mengandung pengertian
pilihan. Seseorang yang mempunyai hak menurut hukum, ia diberi kekuasaan untuk
mewujudkan haknya itu, yaitu dengan cara meminta kepada pihak lain untuk
menjalankan kewajiban tertentu. Di sini terlihat, bahwa tergantung kepada
pemegang hak untuk menentukan apakah ia akan mewujudkan haknya itu, Zainuddin (
2008 : 33)
Subjek hukum pendukung hak dan kewajiban, dapat melakukan
tindakan hukum, kecuali orang yang belum dewasa atau belum sampai umur 18 tahun
atau orang yang tidak sehat pikirannya atau berada di bawah pengampuan
(Zainuddin, 2008 : 34).
Penulis tidak sependapat dengan Zainuddin Ali yang
mengatakan hak dan kewajiban mengandung pengertian pilihan. Bila yang dimaksud
adalah hak, itu benar, tetapi bila kewajiban juga diberikan ruang pilihan, maka
seseorang dapat menghindar untuk tidak memenuhi kewajibannya.
b.
Badan Hukum Sebagai subjek Hukum
Subjek hukum atau subject van een recht, yaitu
”orang” yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak,
berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah perkumpulan atau
organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya
dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Sedangkan
perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum yakni tindakan seseorang
berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu
akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan
wanita, (Soejono Dirdjosisworo, 2008 : 128)
Abu
Ayyub Saleh mengutip kutipan Chidir Ali dari Saleh Djindang menjelaskan
bahwa
yang dimaksud
dengan korporasi ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum
bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri – suatu
personifikasi. Ini berarti bahwa korporasi merupakan badan hukum yang
beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak
dan kewajiban anggota masing-masingnya (Abu A.S, diktat 3, 2008 :17)
Badan hukum sebagai subjek hukum tindak pidana tidak sama
halnya dengan ”manusia” (naturlijke persoon) sebagaimana yang dikatakan
oleh Dwidja Priyatno sebagai berikut :
Sistem
pertanggungjawaban korporasi di Indonesia dewasa ini, tidak dikenal dalam hukum
pidana umum atau tidak terdapat di dalam KUH Pidana. Hal ini dikarenakan KUH
Pidana masih mempergunakan subjek tindak pidananya adalah ”orang” dalam
konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon)... secara tegas
kebijakan legisasi tentang masalah pertanggungjawaban korporasi dalam hukum
pidana diatur dalam Pasal 15 Undang-undang No 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi, Priyatno ( 2004:8-9)
Pengaturan pidana dan pemidanaan Badan Hukum sangat
berbeda dengan ”manusia” sebagai subjek hukum, karena badan hukum tidak dapat
dijatuhi pidana mati, penjara, tetapi dapat dijatuhi denda sebagai pidana pokok
dan pencabutan hak-hak tertentu sebagai pidana tambahan. Sistem
pertanggungjawaban badan hukum juga tidak diatur dalam KUHP yang berarti
pelanggaran yang dilakukan oleh Badan Hukum tidak termasuk sebagai tindak
pidana umum, tetapi merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam undang-undang
khusus, misalnya perseroan terbatas diatur dalam undang-undang perseroran
terbatas. Koperasi diatur dalam undang-undang no 25/1992. Perbankan diatur
dalam Undang-undang no 7/1992 yang direvisi dengan undang-undang No
10/1998. Sedangkan subjek hukum yang bukan badan hukum (korporasi non
badan hukum), bila melakukan perbuatan melawan hukum, maka sanksi pidana
dibebankan kepada pengurusnya sebagai subjek hukum.
Badan hukum memilki syarat-syarat yang ditentukan oleh
hukum, seperti:
-
Memiliki kekayaan yang terpisah dari
kekayaan anggota-anggotanya
-
Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah
dari hak dan kewajiban para anggota-anggotanya
Badan
hukum juga memilki dasar-dasar yang diatur oleh hukum berlaku, misalnya
-
Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam
Bab III bagian ketiga Buku I KUHD (WvK).
-
Koperasi, diatur dalam Undang-undang
No 25 Tahun 1992
-
Yayasan, (Yurisprodensi) dan sesuai
dengan kebiasaan yang dibuat dalam akte notaris
-
Perbankan, diatur dalam Undang-undang
No 7 Tahun 1992 yang direvisi dengan Undang-undang No 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan
-
Bank Pemerintah, sesuai dengan
Undang-undang yang mengatur pendiriannya.
-
Organisasi Partai Politik dan Golongan
Karya diatur dengan Undang-undang No 3 Tahun 1975 yang telah diubah dengan
Undang-undang No 3 Tahun 1985
-
Pemerintah Daerah Tingkat I, II dan
Kecamatan diatur dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1974.
-
Negara Indonesia diatur dengan
konstitusi Undang-undang Dasar 1945.
Pelaku-pelaku atau subjek hukum ”orang” yang melakukan
tindak pidana atau delik, dapat diancam sanksi pidana yang terdiri atas :
a. pidana pokok;
- pidana mati;
- pidana penjara;
- pidana kurungan;
- pidana denda
-
pidana tutupan
b. pidana
tambahan
-
pencabutan hak-hak tertentu;
-
perampasan barang-barang tertentu;
-
pengumuman putusan hakim. (Pasal 10 KUHP)
3. Perbuatan Melawan Hukum (delik)
Kata delik berasal dari bahasa Latin, yakni delictum,
dalam bahasa Belanda delict. Delik diberi batasan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia ”Perbuatan yang dapat dihukum karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang; tindak pidana”.
Delik dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yang diuraikan
sebagai berikut : Dalam ilmu hukum pidana dikenal delik formil dan delik
materil. Yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang perumusannya
menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang, di sini rumusan dari perbuatan jelas. Misalnya Pasal 362 tentang
pencurian. Adapun delik meteril adalah delik yang perumusannya menitikberatkan
pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dengan
kata lain, hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan. Misalnya Pasal 338
tentang Pembunuhan (Leden Marpaung, 2008 : 8)
Delik yang dimaksud Leden Marpaung tersebut di atas
adalah delik yang pelaku atau subjek untuk tindak pidana umum atau tindak
pidana umum bagi ”orang” sebagai natuurlijke persoon karena
di atur di dalam KUHP, sedangkan pelaku atau subjek hukumnya adalah korporasi
di atur di luar KUHP atau undang-undang khusus.
Khusus korporasi, Abu Ayyub Saleh (Hakim Agung) telah
menerangkan tentang perbuatan yang dapat dihukum, sebagai berikut :
...perbuatan
yang dapat dihukum adalah seluruh perbuatan yang diancam hukuman oleh peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan secara tegas dan terang...untuk dapat
menentukan sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi atau apakah
korporasi telah melakukan tindak pidana, akan sangat bergantung pada peraturan
perundang-undangan yang ada hari ini. Sehingga untuk perbuatan yang dilakukan
oleh korporasi dalam aktifitas kesehariannya yang tidak sejalan dengan
kepentingan masyarakat luas, jika belum diatur dan terumuskan dalam sebuah
produk undang-undang, maka terhadap perbuatan tersebut tidak dapat dilakukan
langkah-langkah yuridis...asas legalitas yang berbunyi ”nullum delictum,
nulla poena sine praivea lege poenali” artinya peristiwa pidana tidak akan
ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu (Abu
Ayyub Saleh, 2008 )
Abu Ayyub Saleh (2008 : 2) mengutip kutipan
Setiyono dari Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager bahwa ”Kejahatan
korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi
hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata
maupun hukum pidana”.
. Sanksi
administratif, berupa :
- Pencabutan atau pembubaran seluruh atau sebagian
fasilitas yang telah atau dapat diperoleh perusahaan, berupa pencabutan izin;
- Tindakan Tata tertib, berupa penempatan perusahaan di
bawah pengampuan;
- Pembekuan operasional selama waktu tertentu.
. Sanksi
Perdata (ganti kerugian).
Sanksi pidana, yang dapat diterapkan dapat berupa :
-
Pidana penjara. Untuk jenis ini hanya
dapat dijatuhkan terhadap pengurus korporasi
-
Pidana denda
-
Pidana tambahan, berupa :
- pencabutan hak-hak tertentu;
- penyitaan benda-benda tertentu;
- pengumuman putusan hakim.
4. Ajaran Melawan Hukum
Ciri pertama, yang
lazin dijumpai pada semua tatanan sosial yang diistilahkan sebagai “hukum”
ialah bahwa semua tatanan itu merupakan tatanan perilaku manusia. Ciri kedua
ialah bahwa semua tatanan itu merupakan tatanan pemaksa (Kelsen, 2007 : 37) .
Penulis tidak sependapat dengan pernyataan ini karena saat ini tidak semua
tatanan sosial yang disebut hukum itu selalu dapat menerapkan tindakan paksa
sebagaimana halnya yang terjadi pada ajaran melawan hukum formil.
Dosen mata kuliah
Tindak Pidana Umum Sitti Zubaedah, tanggal 26 Nopember 2011 mengajarkan
“teori ajaran melawan hukum” yang terbagai atas 2 (dua) jenis, yaitu ajaran
melawan hukum formil dan ajaran melawan hukum materil.
a. Ajaran
melawan Hukum Formil
Menurut Ajaran melawan
hukum formil (fungsi negatif) mengatakan, jika suatu hukum tertulis
menganggap suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh masyarakat yang
diancam dengan pidana, tetapi masyarakat menganggap perbuatan tersebut
wajar-wajar saja, maka hukumnya tidak berlaku contoh permainan tinju,
menurut pasal 351 KUHP tentang penganiayaan diancam dengan hukuman
paling lama dua tahun delapan bulan, kalau luka berat ancaman hukumannya
maksimum lima tahun, sama juga dengan merusak kesehatan. Tapi kenyataannya,
pasal KUHP ini tidak berlaku bagi permainan tinju, walaupun saling menyakiti
badan/tubuh lawan (menganiaya), karena masyarakat menganggap wajar-wajar saja
atau biasa-biasa saja dan dilakukan atas kehendak masing-masing. Leden Marpaung
(2008 : 49) telah mengutip pendapat Bemmelen, yang menyatakan bahwa
Apabila seseorang telah bertindak sesuai dengan kepatutan,
dalam arti orang tersebut telah bertindak sesuai dengan yang diharapkan orang
darinya, tindakannya itu harus dianggap sebagai tidak onrechmatig, walaupun
secara formil ia telah melakukan pelanggaran terhadap suatu ketentuan pidana
menurut undang-undang.
Demikian pula halnya,
dengan cipika-cipiki seperti yang terjadi pada tamu-tamu yang datang pada pesta
pernikahan anak presiden kita baru-baru ini, apakah melanggar kesusilaan atau
tidak ? Norma agama islam yang mengatur hal ini mengatakan bahwa
berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim adalah haram. Norma
agama ini masih dipegang teguh sebagian besar anggota masyarakat pedesaan,
namun berbeda halnya dengan sebagian masyarakat perkotaan yang modern dan
intelek, tampaknya tindakan cipika-cipiki antara wanita dan laki-laki dianggap
wajar-wajar saja atau biasa saja. Kalau dasarnya hanya norma agama, tidak
dikenakan sanksi di dunia, sanksinya dihari kemudian. Tetapi bila kita
telusuri KUHP (hukum positif), ditemukan satu pasal, yaitu Pasal 281
yang isinya menyatakan, bahwa
Diancam hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
1.
Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar
kesusilaan.
2. Barang siapa dengan sengaja dan di
depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar
kesusilaan.
Permasalahannya apakah
cipika-cipiki antara perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim di anggap oleh
masyarakat Indonesia melanggar kesusilaan. Kalau menurut pandangan agama
islam yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia, jelas melanggar
kesusilaan. Tetapi ini norma agama yang tidak dapat dijadikan dasar untuk
memberikan sanksi pada pelaku. Tapi bila perbuatan cipika-cipiki antara
perempuan dengan laki-laki di muka umum, termasuk yang diancam dengan pasal 281
KUHP tersebut di atas, maka menurut ajaran melawan hukum formil
(fungsi negatif) mengatakan, jika suatu hukum tertulis menganggap suatu
perbuatan melawan hukum dan diancam dengan pidana, tetapi masyarakat menganggap
perbuatan tersebut wajar-wajar saja, maka hukumnya tidak berlaku, seperti
halnya permainan tinju.
Barang kali hal ini
memerlukan suatu kajian khusus yang lebih mendalam, karena melanggar norma
agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan norma
hukum positif. Mungkin berbeda halnya kalau cipika-cipiki dilakukan
dinegara Belanda khususnya atau Eropa pada umumnya. Yang penulis ingin katakan,
bahwa bila dengan cipika-cipiki masyarakat menganggap biasa-biasa saja, maka
Pasal 281 KUHP tidak berlaku dan inilah yang disebut ajaran melawan hukum
formil.
Bila ajaran melawan
hukum formil ini dirujuk ke dalam pelaksanaan Program DEP PEMP, di mana
kelompok nelayan tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah disepakati
dalam suatu perjanjian tertulis antara Koperasi Nelayan dengan ketua-ketua kelompok
nelayan.Koperasi nelayan telah menuding Kelompok nelayan atau anggotanya telah
melanggar perikatan karena perjanjian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata dan telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian menurut Pasal
1320 KUH Perdata, yaitu sepakat kedua belah pihak, cakap (legal capacity),
Objek tertentu yang diperjanjikan dan causa yang halal. Menurut Koperasi
Nelayan pengingkaran perjanjian yang telah disepakati berarti melanggar
Undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata tentang
adanya kebebasan berkontrak dan merupakan Undang-undang bagi pihak-pihak yang
membuatnya. Apabila anggota nelayan tidak memenuhi kewajibannya dengan alasan
bahwa belakangan setelah perjanjian dibuat diketahui bahwa DEP PEMP 2006 adalah
dana hibah dari APBN yang sebenarnya tidak perlu dikembalikan. Apakah Hal ini
dapat menggugurkan kewajiban nelayan untuk memenuhi prestasinya terhadap
koperasi nelayan? Ataukah karena alasan masyarakat pesisir yang sudah terbiasa
mendapat bantuan dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan, sehingga bila
mereka tidak memenuhi kewajiban yang sudah diperjanjikan di anggap biasa-biasa
saja. Bila memang demikian, maka berlakulah ajaran melawan hukum formil (fungsi
negatif)
b. Ajaran
melawan hukum materil (fungsi positif)
Menurut ajaran melawan
hukum materil, bahwa bila suatu perbuatan tercela yang dilakukan melanggar
norma-norma tidak tertulis yang ada di dalam masyarakat, tetapi tidak diatur di
dalam hukum positif atau hukum tertulis pada masyarakat tersebut, maka menurut
Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-undang Darurat No 1 tahun 1951 Jo UU No 1/1962
bahwa jika suatu perbuatan menurut hukum yang hidup di dalam masyarakat, namun
tiada bandingannya di dalam KUHP, maka terhadap perbuatan tersebut dapat
diberikan hukuman 3 bulan penjara atau jika masyarakat dan keyakinan hakim
menyatakan sebagai pelanggaran berat dapat dihukum setinggi-tingginya 10
(sepuluh) tahun penjara. Hukuman tambahan bagi pelakunya, dikucilkan atau
dicemoh oleh masyarakat, contoh hidup bersama tanpa ikatan nikah (kumpul kebo).
Menurut norma agama hukumnya haram berkumpul dalam suatu kamar antara laki-laki
dengan perempuan tanpa ikatan nikah dan bukan muhrim. Walaupun hal ini tidak
diatur dalam hukum positif atau KUHP namun tetap dapat dipidanakan. Wirjono
Prodjodikoro mengatakan bahwa
Menurut hemat saya sebaiknya tidak secara mutlak dilarang
atau diperbolehkan analogi dalam hukum pidana, tetapi harus pada tiap-tiap soal
in concreto dilihat pada maksud dan tujuan sebenarnya dari pembentuk
undang-undang mengenai soal khusus yang bersangkutan…sikap saya terhadap
memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana sampai di luar
undang-undang, jadi harus ditinjau soal-soal tertentu satu persatu, apakah
analogi diperbolehkan atau tidak ( Wirjono Prodjodikoro, 2009 : 100).
Penulis sependapat
dengan Wirjono Prodjodikoro tersebut di atas, khusus untuk kesusilaan ( kumpul
kebo) yang tidak diatur dalam KUHP atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Kumpul kebo dianggap melanggar kesusilaan dan norma agama yang meresahkan
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di analogkan melanggar
kesusilaan yang diatur dalam pasal 281 ayat 1, bahwa “diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda…barangsiapa dengan
sengaja dan terbuka melanggar “kesusilaan” atau dengan ancaman Pasal 5 ayat 3
sub b Undang-undang No 1 tahun 51 jo UU No 1 tahun 1962 tersebut di atas.
Kembali kita merujuk ajaran melawan hukum materil (fungsi positif) terhadap
perjanjian yang dibuat antara Koperasi Nelayan dengan ketua-ketua kelompok
nelayan. Di dalam Surat Keputusan Menteri No 18/Men/2004 tentang Pedoman Umum
PEMP 2006 tidak dicantumkan sanksi bagi nelayan yang tidak memenuhi
kewajibannya. Tetapi walaupun sanksi hukum tidak disebutkan di dalam Pedoman
Umum tersebut, tetapi kelompok nelayan telah membuat perjanjian tertulis dengan
Koperasi Nelayan berdasarkan kesepakatan ke dua belah pihak. Menurut penulis
kelompok nelayan harus memenuhi prestasinya karena terikat dalam suatu
perjanjian yang bila kita tidak penuhi apapun alasannya kita termasuk orang
munafik. Apabila pendapat penulis benar, maka berlakulah ajaran hukum materil.
5. Alasan Penghapus Tindak Pidana
Uraian tentang alasan
penghapusan tindak pidana juga penting diperhatikan dalam suatu analisa hukum,
karena walaupun semua unsur delik telah terpenuhi, belum tentu seseorang dapat
dijatuhi hukuman. Alasan-alasan penghapus pidana yang tertulis atau
dikenal dalam KUHP adalah tindak mampu bertanggung jawab, pembelaan darurat ,
pembelaan darurat yang melampaui batas, daya paksa, pembelaan terpaksa,
melaksanakan peraturan perundang-undangan, dan perintah jabatan yang sah” (J.E
Sahetapy, 2007 : 128). Selanjutnya Sahetapy ( 2007: 142) juga mengatakan
bahwa “Pemisahan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf juga penting
untuk penanganan eksepsi dalam hukum acara”.
a. Alasan
Pembenar meliputi
(1). Pembelaan
Terpaksa
Ketentuan pembelaan
terpaksa diatur dalam KUHP Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan,
mengurangi atau memberatkan pidana dengan rumusan sebagai berikut :
Tidak dipidana,
barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun
untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang
lain, karena ada serangan atau ancaman serangan sangat dekat pada saat itu yang
melawan hukum
( Pasal 49 ayat 1 )
Wirjono Projodikoro
(2009 : 93) memberikan tiga Contoh tindakan yang dilakukan sebagai
pembelaan diri secara terpaksa, pembelaan harta benda, pembelaan kesusilaan yang
tidak melanggar hukum atau tidak wederrechtelijk, yaitu
- A mendekati B dengan
memegang tongkat untuk memukul B dengan tongkat itu. B dapat menghindarkan diri
dari pukulan itu dengan meloncat kesamping kemudian memukul balik kepada B agar
si A tidak memukulnya kembali. Perbuatan si B tidak bersifat melanggar
hukum.
- A mencuri barang
milik B. B melihat itu dan meminta kembali barangnya, tapi A tidak mau
memberikan, sehingga B berusaha merebut kembali dan memukul A sehingga
barangnya bisa kembali. Persoalannya apakah B dipersalahkan melakukan tindak
pidana penganiayaan terhadap A. Tindakan ini dianggap tidak bersifat melanggar
hukum karena membela harta benda.
- Si A dengan
telanjang bulat memasuki rumah B. Meskipun diusir dengan kata-kata, si B
tetap tidak memperdulikan. Kemudian si B memukul A, sehingga ia pergi.
(2). Peraturan
Perundang-undangan
Di ataur dalam Pasal
50 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Seorang polisi dalam suatu
penyelidikan menangkap seorang tersangka, ia
tidak dapat diancam
hukuman sebagai merampas kemerdekaan seseorang, sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 333 KUHP yang berbunyi, bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan
melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan
kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara..”. Perbuatan
Polisi itu tidak dapat dikatakan perbuatan pidana karena menjalankan
perintah undang-undang. Perbuatan Polisi itu menyangkut dua pasal KUHP yang
saling bertentangan, yaitu pasal 50 KUHP mengizinkan atau perintah
unddang-undang, sedangkan Pasal 333 KUHP melarang karena merampas kemerdekaan
seseorang. Hal ini berarti tindak pidana gugur, karena asas hukum mengatakan
bahwa apabila ada dua undang-undang atau hukum yang dikenakan kepada seseorang
berbeda, maka hukum yang dipilih adalah yang menguntungkan pelaku.
Menurut Wirjono
Projodikoro (2009 : 93) bahwa “perbuatan semacam ini sudah semestinya tidak
bersifat melanggar hukum, jadi bukan wederrechtelijk, melainkan rechmatig. Dan,
dengan demikian, sudah semetinya perbuatan ini tidak merupakan tindak
pidana”.
(3). Perintah Jabatan
yang Sah
Di atur dalam
Pasal 51 KUHP yang berbunyi “ (1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang,
tidak dipidana.” Hal ini sama dengan penjelasan ketentuan yang diatur dalam
pasal 50 KUHP tersebut di atas.
b. Alasan Pemaaf
(1). Tindak Mampu
Bertanggung Jawab
Seseorang tidak mampu
bertanggung jawab karena cacat phisik atau karena penyakit melakukan perbuatan
melawan hukum, maka ia tidak dipidana. Ketentuan ini diatur dalam KUHP bahwa
Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana ( Pasal 44 ayat 1).
Perbuatannya tetap
tercelah, hanya orangnya tidak dapat dihukum karena tidak mamupu
bertanggungjawab atau karena adanya alasan pemaaf.
(2). Daya Paksa (
Pasal 48 )
Daya paksa atau overmacht
diatur dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Seorang ahli hukum Indonesia
yang terkenal memberikan penjelasan tentang pasal ini sebagai berikut :
Barang siapa yang diancam oleh seseorang dengan sebuah
pistol, menembak mati orang ketiga, apabila hal ini dibenarkan, dapat dianggap
sebagai berbuat karena daya paksa. Ia tidak dipidana karena tunduknya pada
ancaman tersebut karena diakui sebagai sesuatu yang dapat dimaafkan ( J.E
Sahetapy, 2007 : 146)
(3). Pembelaan Darurat
Penjelasan tentang
pembelaan darurat diuraikan secara jelas dalam bntuk contoh oleh salah seorang
ahli hukum Indonesia, sebagai berikut :
dua orang yang bernama D dan E, bersama-sama memanjat
gunung dengan menggunakan tali dadung yang dipegang oleh kedua orang itu, Pada
suatu waktu terjadi keadaan bahwa si D hanya ada dua alternatif, yaitu
melepaskan talinya dengan akibat bahwa si E jatuh ke dalam jurang, dan mungkin
akan meninggal dunia, atau tatap memegang tali dengan kepastian bahwa keduanya
akan jatuh ke dalam jurang. Bila si D melepaskan talinya dan si E jatuh ke
dalam jurang dan meninggal, maka bisa dikatakan bahwa si D berbuat
terdorong oleh hal memaksa berupa keadaan gawat dan apabila ia tidak berbuat
demikian, maka ia sendiri akan menghadapi bahaya maut. Maka, berdasarkan Pasal
48 KUHP ia tidak akan kena hukuman pidana. Akan tetapi, tidaklah dapat
dikatakan bahwa perbuatan mereka menjadi halal. Perbuatan mereka tetap wederrechtelijk
atau bersifat “melanggar hukum”. Hanya para pelaku dapat dimaafkan… (Wirjono
Projodikoro, 2009 : 90)
Pendapat ahli
tersebut di atas memberikan kesan kepada kita bahwa tidak semua perbuatan
melawan hukum dapat dihukum. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara
terpaksa dan tidak ada pilihan lain kecuali melakukannya, maka perbuatan
tersebut tidak dijatuhi hukuman karena keadaan darurat dan terpaksa, walaupun
perbuatannya itu tetap melawan hukum ( wederrechtelijk ), tapi dimaafkan
karena terpaksa dan dalam keadaan darurat.
(4). Pembelaan
Terpaksa yang Melampaui Batas
Di atur dalam Pasal 49
ayat 2 yang berbunyi “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan itu atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana”. Penjelasan tentang keguncangan jiwa yang hebat
yang menyebabkan tidak dipidananya seseorang dapat dilihat pada komentar
berikut
Gerak perasaan ini
dapat berupa rasa ketakutan, rasa kebingungan, rasa marah, rasa jengkel,dan
sebagainya yang semua mungkin timbul selaku akibat dari serangan terhadap
dirinya, baik badan maupun kesusilaan ataupun barang miliknya sendiri atau
milik orang lain…Perbuatannya tetap tidak halal, hanya orangnya tidak dapat
dihukum…si pelaku dimaafkan karena perbuatannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya ( Wirjono Projodikoro, 2009 : 87)
(5). Perintah Jabatan
yang tidak Sah Dipandang Sah
Pasal ini dirumuskan
di dalam KUHP, sebagai berikut :
Perintah jabatan tanpa
wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah,
dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya ( Pasal 51 ayat 2 bahwa
).
Pasal ini menjadi
perlindungan bagi pegawai yang melakukan tugas dalam lingkungan kerjanya,
melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh orang bukan yang berwenang, namun
ia dibebaskan dari hukuman karena adanya itikad baik. Perbuatannya tetap
melanggar hukum, namun ia dibebaskan karena adanya alasan pemaaf.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Ayyub.Saleh. 2008. Kejahatan Korporasi. Diktat. tidak
diterbitkan.Program Pasca- sarjana. UKI Paulus, Makassar
Agustinus.E.K.
2009. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. YLBHI dan PSHK. Jakarta.
Andi Hamzah. 2009. Delik-Delik Tertentu di dalam KUHP.
Sinar Grafika, Jakarta
Azis Syamsuddin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Sinar
Grafika. Jakarta
Baso Madiong. t.th. Sosiologi Hukum suatu pengantar.
Lempen Univesitas 45. Makassar
Darji Darmodiharjo dan Shidarta.
2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Dwidja Priyatno. 2004. Kebijakan Legislasi tentang
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia.CV. Utomo, Bandung
Hans Kelsen.1978. Pure
Theory of Law. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. 2007. Teori Hukum Murni.
Dasa-dasar Ilmu Hukum Normatif. Nusamedia & Nuansa, Bandung
Imam Syaukani dan A.
Ahsin Thohari. 2006.Dasar-dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Mandar Maju,
Bandung
Leden Marpaung. 2008. Asas-Teori-Paktek Hukum Pidana.
Sinar Grafika, Jakarta
Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Peter Mahmud Marzuki.
2008. Pengantar Ilmu Hukum. Prenada Media Corp, Jakarta
Soedjono Dirdjosisworo. 2008. Pengantar Ilmu Hukum.
Raja Grafindo Persada, Jakara
Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi
hokum dalam Masyarakat. Rajawali, Jakarta.
Schaffmeister D, Keijer N & Sutorius E.PH.t.th. Hukum
Pidana. Editor J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan.2007.Citra Aditya Bakti,
Bandung
Titik
TriwulanTutik.2006. Pengantar Ilmu Hukum. Prestasi Pustakaraya. Jakarta.
_________2008. Hukum
Perdata dalam sistem Hukum Nasional.Kencana. Jakarta.
Wirjono
Prodjodikoro.2009. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia.edisi ke-3.
Refika Aditama, Bandung
Zainuddin Ali. 2008. Filsafat
Hukum. Sinar Grafika, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar