BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun 1999 telah
lahir Undang-Undang perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum kepada konsumen. dalam undang undang ini juga di jelaskan
mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini di atur untuk
memberikan kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal
demikian memang perlu di atur karena untuk menghindari sikap negatuf pelaku
usaha terhadap konsumen.
Perlindungan konsumen
ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap
produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Namun dalam
kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen
atau pelaku usaha tersebut.Undang undang tentang perlindungan konsumen ini
memanag telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari
undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang
ada dalam undang undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus
banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang
tentunya berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam
tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
contohnya adalah, Makanan kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan
produk-produk kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi
ditumbuhi jamur dan bakteri yang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
Peristiwa peristiwa
seperti itu tentunya sangat merugikan konsumen, maka seharusnya pelaku usaha
bertanggung jawab dengan kejadian tersebut sebagai implementasi dari undang
undang nomor 8 tahun 1999. Untuk memperjelas masalah akan tanggung jawab pelaku
usaha maka makalah ini akan membahas mengenai masalah tanggung jawab pelaku
usaha tersebut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari
makalah ini adalah :
a. Bagaimana tanggung jawab pelaku
usaha pada kasus Klausula Baku Perlindungan Konsumen Parkir dan Prita
Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
b. Apakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap
kasus telah terlaksana dengan baik atau belum ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari
makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui Bagaimana
tanggung jawab pelaku usaha pada kasus Klausula Baku Perlindungan Konsumen
Parkir dan Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil ;
b. Untuk mengetahui apakah tanggung jawab pelaku
usaha ;
c. Untuk mengetahui kasus mengenai
perlindungan konsumen dan analisis hukumnya.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari
penulisan makalah ini adalah :
a. Agar kita bisa lebih mengetahui
apa tanggunng jawab pelaku usaha terhadap konsumen ;
b. Agar kita bisa mengetahui apakah tanggung
jawab pelaku usaha telah terlaksana dengan baik atau belum;
c. Agar kita bisa mengetahui kasus
mengenai perlindungan konsumen dan analisis hukumnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjaun Pustaka
1. Pengertian Pelaku Usaha
Pengertian pelaku
usaha menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
pasal 1 ayat 3, pelaku usaha adalah. setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku
usaha tercantum dalam UU perlindungan konsumen pasal 19 yaitu :
UU No.8 tahun 1999 Pasal 19,
1). Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2). Ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3). Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4). Pemberian ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya
unsur kesalahan.
5). Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Inti dari pasal di
atas adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul
dari hasil produk/jasanya. Seperti yang di sebutkan pada pasal 19 ayat 1,
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Berdasarkan ayat 2
pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian
ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.
B. Contoh Kasus Dan Analisis Hukumnya
Kasus 1
“Klausula Baku Perlindungan
Konsumen Parkir”
Bayangkan bila suatu
saat anda memarkir kendaraan anda di lokasi parkir yang resmi dan berkarcis,
kemudian saat anda hendak meninggalkan lokasi, ternyata kendaraan anda lenyap
tak berbekas. Padahal karcis, kunci dan STNK masih di tangan anda. Tindakan
apakah pengelola yang akan anda lakukan? Melapor ke pengelola parkir tentunya.
Kemudian pihak pengelola parkir akan menampung laporan anda dan membuatkan
Surat Tanda Bukti Lapor (STBL).
Sayangnya, bila anda
tidak ngotot memperjuangkan hak anda, besar kemungkinan laporan anda akan
berakhir dengan pernyataan pelepasan tanggung jawab oleh pihak parkir. Dasar
yang mereka pakai biasanya adalah klausula yang tercantum dalam (hampir semua)
karcis parkir resmi. Klausula itu umumnya berbunyi ”pengelola parkir tidak
bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan atau
kehilangan kendaraan berikut isinya”.
Ironisnya, klausula
baku di bidang perparkiran ternyata dilegalkan Pemprov DKI Jakarta melalui
Perda No 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. Pasal 36 ayat (2) Perda DKI Jakarta
No. 5 Tahun 1999 menyatakan: “Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang
yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di dalam
petak parkir merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir“.Lantas, apa yang
harus dilakukan?bagaimana kaitan hal tersebut dengan dengan undang undang
perlindunhan konsumen?
Analisis kasus 1
Hubungan antara
pemilik kendaraan yang diparkir dengan pihak pengelola parkir sesungguhnya
adalah hubungan antara konsumen dengan produsen (jasa). Konsumen menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) pasal 1
butir 2 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagaimana umum
terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha seringkali bersifat
subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat salah satunya
dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus disetujui dan
diikuti oleh konsumen.
Syarat sepihak ini
dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”. Bisnis perparkiran sendiri
sebenarnya adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi pengelolanya.
Karena itu jaminan perlindungan hukum kepada konsumen parkir harus lebih
diseimbangkan.
Pengertian klausula
baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 UUPK yang menyatakan bahwa klausula baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Sesungguhnya
pencantuman klausula baku ini telah dilarang oleh UUPK. Mengenai larangan
pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian, di antaranya apabila klausula tersebut menyatakan pengalihan
tanggungjawab pelaku usaha dan menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan
yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan
yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang
letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Setiap klausula baku
yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang
memenuhi ketentuan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dalam penjelasan UUPK
dinyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Asas kebebasan
berkontrak, di satu sisi, memang seolah-olah mengesahkan keberadaan klausula
baku tersebut.
Selama para pihak yang
terlibat setuju-setuju saja maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun di
sisi lain asas kebebasan berkontrak tidaklah adil bila diterapkan pada dua
pihak yang memiliki posisi tawar yang tidak seimbang.
Dalam kasus ini
kedudukan konsumen memang lebih rendah jika d bandingkan pelaku usaha yang
seharusnya adalah tidak demikian. Dalam pasal 9 ayat 1 UUPK jelas di sebutkan
bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jadi dalam kasus ini undang undang yang
ada tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi.
Kasus 2
Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di
Perlakukan Tidak Adil
Hari-hari ini kita
disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu berusia 32 tahun, yang
semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional, namun
pelayananannya tidak memuaskannya, karena hasil lab yang memaksanya rawat inap
itu tidak dapat dia peroleh. Maka dia curhat ke teman-temannya melalui email,
sayang email ini kemudian bocor ke publik melalui milis, dan si ibu Prita ini
lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama baik,
melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi dan
Transaksi Elektronik (“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”) yang dalam pasal 45 UU tersebut
diancam dengan penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah. Karena ancaman
hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung ditahan
hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi perhatian publik,
bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.
Si ibu yang malang ini
semula hanya ingin mengadukan nasibnya sebagai pasien, konsumen layanan medis.
Jutaan pasien di negeri ini dalam posisi lemah terhadap dokter dan rumah sakit
yang jarang proaktif memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, apalagi
pilihan tentang jenis obat atau tindakan yang diperlukan pasien. Pasien hanya
sekedar menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak dan bisa diajak
kerjasama memulihkan kesehatannya. Perlakuan dokter atau rumah sakit ini makin
menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta. Dengan alasan memberi
layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan, sekalipun mungkin tidak
dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka panjang bisa merusak
organ vital pasien.
Ketika pasien
diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan mengadu? Meski ada UU no 8/1999
tentang Perlindungan Konsumen, dan telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN) di Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak
masyarakat yang tahu keberadaannya. Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana
saja pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke media massa atau
email ke dunia maya. Ini terjadi karena BPKN hanya bertindak setelah ada
pengaduan langsung kepadanya. BPKN tidak diwajibkan bertindak proaktif dengan
memonitor dunia perdagangan, sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.
Masalahnya, begitu
menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini dapat dengan mudah dibalikkan
oleh yang merasa lebih kuat (yaitu produsen) dengan tuduhan pencemaran nama
baik. Polisi, Jaksa ataupun Hakim yang menangani pun bisa bertindak tidak
profesional, baik karena alasan keyakinan tertentu (yang mungkin mitos), alasan
politis maupun alasan kepentingan lain yang terkait dengan pihak yang lebih
kuat itu. Maka sang konsumen yang malang tadi tertimpa tangga dua kali:
diperlakukan tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu didzalimi oleh alat
negara ketika mencari keadilan.
Analisis kasus 2
Dalam kasus prita
mulya sari di atas,terlihat jelas bahwa lagi lagi kekuatan konsumen lebih lemah
jika di bandingkan dangan kekuatan produsen. Dalam kasus ini, prita sebenarnya
telah di rugikan oleh produsen (pelaku usaha) pelayan medis.karena dalam kasus
ini prita mulya sari juga merupakan sebagai konsumen,sesuai dengan pengertian
konsumen pada pasal 1 angka 2 “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. Dan pihak rumah sakit adalah merupakan produse (pelaku usaha)
sesuai dengan pengertian pelaku usaha pada pasal 1 ayat 3 UUPK “ Pelaku usaha
adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
Jadi seharusnya prita
mendapat perlindungan sebagai konsumen jika di kaitkan dengan UUPK. Sesuai
dengan yang tercantum dalam pasal 19 UUPK tentang kewajiban pelaku usaha bukan
masalah sebaliknya pelaku usaha dalam hal ini rumah sakit malah menuntut prita.
Jadi jelas bahwa UUPK ini belum bisa sejalan dengan kenyataan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari
penulisan makalah ini adalah :
1. UU No.8 tahun 1999 Pasal 19,
tanggung jawab pelaku usaha:
a. Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
e. Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
2. Berdasarkan pembahasan diatas maka kami
menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang
harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan
pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran
yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah
tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap
dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum
akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek
samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
Saran
Saran yang dapat penulis
berikan adalah,dalam pelaksanaannya Undang-Undang perlindungan konsumen di
Indonesia saat ini harus lebih di tegakkan lagi agar tujuan dari pada undang
undang itu sendiri dapat terlaksana dengan baik.sehingga undang undang ini
betul betul dapat menengkat harkat dan mmartabat konsumen serta dapat
memberikan kepastian hukum yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
·
Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Dalam Seminar
Nasional : Antisipasi Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, Horison Hotel, Bandung. 8 April 2000.
·
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen.
1 komentar:
terimakasih artikelnya lumayan membantu, maaf bisa tolong kasih referensi gak untuk kasus-kasus kehilangan kendaraan di kota bandung? laagi mepet butuh banget buat revisiann :(
Posting Komentar