Ditulis oleh H. Andi Mattalatta 
Abstract
The stipulation of a welfare and law state contributes a 
consequence that the prevailing law will provide assurances for all 
nations and each individual from unfair and arbitrarily conducts. The 
law should protect each citizen so that their rights as a citizen and 
human rights will be assured. All of these can only be conducted if the 
terms on the “assurance” are written in the constitution. Within such 
conception, the politics of law reform should be based on the 
implementations of nation ideals and or national goals. Thus, the 
reformed law resulted from the legislation machines can be prevailed 
nationally, non over lapping, hierarchically structured and based on the
 constitution. However, if the result is a deviant legislation, then it 
will still become the implementation of the national goals. Therefore, a
 grand design should be made so that the politics of legislations has a 
clear directions and acceleration towards the accomplishments of welfare
 state. In addition, the nature of the politics of legislations is 
politics policies that determine which prevailed legislations that will 
arrange various community and state lives.
Abstrak
Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusianya terjamin. Di mana hal ini hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan tentang “jaminan” tersebut dituangkan dalam konstitusi. Dalam konsepsi seperti ini, maka politik pembaharuan hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan atau tujuan nasional. Sehingga hukum yang dihasilkan dari mesin legislasi dapat berlaku secara nasional, tidak tumpang
Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusianya terjamin. Di mana hal ini hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan tentang “jaminan” tersebut dituangkan dalam konstitusi. Dalam konsepsi seperti ini, maka politik pembaharuan hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan atau tujuan nasional. Sehingga hukum yang dihasilkan dari mesin legislasi dapat berlaku secara nasional, tidak tumpang
tindih, tersusun 
secara hierarki dan bermuara pada konstitusi. Namun, jika terpaksa 
dilahirkan perundang-undangan yang menyimpang, maka ia tetap merupakan 
pelaksanaan tujuan nasional. Untuk itu grand design perlu disusun agar 
politik hukum perundang-undangan memiliki arah yang jelas dan akselerasi
 terhadap terwujudnya negara kesejahteraan. Sebab, hakikatnya politik 
hukum adalah kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang 
seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan 
bernegara.
A. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Konsepsi negara hukum yang diinginkan oleh founding fathers sejak awal perjuangan kemerdekaan ini terlihat jelas dengan dimuatnya pokok-pokok pikiran dasar dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan dan pernyataan bahwa pemerintah negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini memberikan arah dan harapan bahwa hukum akan melindungi segenap rakyat, segenap individu dari perlakukan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum akan mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusia-nya terjamin.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Konsepsi negara hukum yang diinginkan oleh founding fathers sejak awal perjuangan kemerdekaan ini terlihat jelas dengan dimuatnya pokok-pokok pikiran dasar dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan dan pernyataan bahwa pemerintah negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini memberikan arah dan harapan bahwa hukum akan melindungi segenap rakyat, segenap individu dari perlakukan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum akan mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusia-nya terjamin.
Namun, sejarah menunjukan bahwa selalu 
saja terdapat kesenjangan atas apa yang diharapkan dengan 
kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Dalam hal ini, meskipun pemerintah 
telah memiliki idealisme dan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi 
kesenjangan antara harapan dan cita-cita dengan kenyataan yang terjadi 
itu. Pemerintah juga telah berjuang, berusaha dengan sungguh-sungguh 
untuk mengatasi keadaan itu, tetapi hasilnya hingga saat sekarang memang
 belum dapat memuaskan semua warga negara, masih banyak dari mereka yang
 belum memiliki akses terhadap keadilan (access to justice).
Namun “kesenjangan” yang masih ada seperti itu tidak boleh membuat kita semua kehilangan energi, kehilangan semangat atau menyerah, apa lagi putus asa untuk tetap memperjuangkan. Perjuangan untuk mewujudkan suatu yang ideal memang memerlukan waktu yang sangat panjang, generasi demi generasi. Hal ini juga terjadi di negara-negara maju, seperti Eropa, Amerika dan Jepang di mana sebuah peradaban, tatatanan dan sistem nilainya dibangun dalam waktu yang sangat panjang, generasi demi generasi.
Namun “kesenjangan” yang masih ada seperti itu tidak boleh membuat kita semua kehilangan energi, kehilangan semangat atau menyerah, apa lagi putus asa untuk tetap memperjuangkan. Perjuangan untuk mewujudkan suatu yang ideal memang memerlukan waktu yang sangat panjang, generasi demi generasi. Hal ini juga terjadi di negara-negara maju, seperti Eropa, Amerika dan Jepang di mana sebuah peradaban, tatatanan dan sistem nilainya dibangun dalam waktu yang sangat panjang, generasi demi generasi.
Oleh karena itu kita semua harus 
memiliki keyakinan bahwa suatu saat nanti, apa yang menjadi harapan itu 
akan menjadi kenyataan. Meskipun juga harus disadari bahwa problema 
kemanusiaan akan selalu muncul sepanjang kehidupan manusia. Karena itu 
setiap generasi, termasuk generasi sekarang harus berbuat secara 
maksimal untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Sehingga apa yang 
telah dirintis dan telah diperbuat oleh generasi sekarang akan 
diteruskan oleh generasi-generasi yang akan datang. Tugas mereka nanti 
adalah mengatasi masalah yang muncul pada zamannya. Tugas kita adalah 
menyelesaikan masalah-masalah yang sekarang kita hadapi, sambil 
memberikan landasan bagi penyelesaian masalah-masalah yang akan muncul 
di masa depan. Dan landasan itu salah satunya adalah peraturan 
perundang-undangan, yang merupakan bingkai pelaksanaan pembangunan 
nasional.
Dari konstruksi berpikir seperti itulah maka ada beberapa hal berikut yang dapat dipergunakan sebagai landasan dalam melaksanakan politik hukum perundang-undangan.
Dari konstruksi berpikir seperti itulah maka ada beberapa hal berikut yang dapat dipergunakan sebagai landasan dalam melaksanakan politik hukum perundang-undangan.
B. Visi Pembangunan Hukum
Kita semua hampir melupakan bahwa gagasan negara berlandaskan konstitusi dan hukum dalam perdebatan pada Sidang Pleno Konstituante saat membahas falsafah negara atau dasar negara, hak asasi manusia, dan pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun waktu 1956-1959 ternyata tidak berkembang dan terinternalisasi ke dalam berbagai norma hukum dan praktek hukum, serta ketatanegaraan. Akibatnya, dalam waktu yang cukup lama kita mengalami suatu periode di mana hukum menjadi instrumen kekuasaan dalam menyelenggarakan berbagai kepentingan, yakni kepentingan kelompok dan kekuasaannya.
Kita semua hampir melupakan bahwa gagasan negara berlandaskan konstitusi dan hukum dalam perdebatan pada Sidang Pleno Konstituante saat membahas falsafah negara atau dasar negara, hak asasi manusia, dan pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun waktu 1956-1959 ternyata tidak berkembang dan terinternalisasi ke dalam berbagai norma hukum dan praktek hukum, serta ketatanegaraan. Akibatnya, dalam waktu yang cukup lama kita mengalami suatu periode di mana hukum menjadi instrumen kekuasaan dalam menyelenggarakan berbagai kepentingan, yakni kepentingan kelompok dan kekuasaannya.
Karena itu dengan kembalinya kepada 
konstitusi hukum yang berlandaskan hak asasi manusia yang diupayakan 
oleh pemerintahan pasca orde baru melalui amandemen konstitusi sebanyak 
empat kali tersebut diharapkan mampu mengembangkan prinsip-prinsip 
negara hukum selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, 
serta semakin kompleksnya masyarakat global. Sehingga rule of law tidak 
lagi dipahami sebagai konsepsi yang tipis (thiner conception) atau 
formal rule by law, tetapi dipahami sebagai konsepsi yang paling tebal 
(thicker conception), yakni substantive social welfare.
Selain itu dengan empat kali amandemen 
yang meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945 tersebut diarahkan 
untuk mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan 
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi dilaksanakan oleh
 Undang-Undang Dasar. Hal ini jelas dimaksudkan untuk menjadikan semua 
lembaga-lembaga negara dalam UUD 1945 memiliki kedudukan sederajat dan 
berjalannya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and 
balances), serta merupakan upaya untuk menjadikan UUD 1945 sebagai acuan
 dasar yang benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan 
negara dan kehidupan warga negara (the living constitution). Hal ini 
ditujukan agar supremasi konstitusi yang memang dikehendaki dalam sebuah
 negara hukum dapat diwujudkan.
Berdasarkan prinsip negara hukum seperti
 itu sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum 
dalam hal ini harus diartikan sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma 
hukum yang berpuncak pada konstitusi. Karena itu pelaksanaan politik 
hukum perundang-undangan tidak boleh menghadirkan hukum dan/atau 
peraturan perundang-undangan yang hanya untuk kepentingan penguasa. 
Hukum tidak boleh hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang 
berkuasa, melainkan harus menjamin kepentingan keadilan bagi semua 
individu, bagi semua warga bangsa. Untuk dapat menjamin hal ini, maka 
negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechsstaat, tetapi 
demokratische rechsstaat (democratic rule of law).
Sejalan dengan itu agar politik hukum 
perundang-undangan tetap dalam kerangka implementasi UUD 1945, maka 
harus selaras dengan cita-cita pembentukan negara Indonesia sebagaimana 
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945; (1) melindungi segenap bangsa dan 
seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) 
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban 
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan 
sosial. Artinya, cita-cita pembentukan negara atau biasa disebut tujuan 
negara itu harus dijadikan alas sekaligus arah dalam setiap penyusunan 
program legislasi nasional (prolegnas) dan pembahasan dalam penyusunan 
perundang-undangan dan peraturan lainnya. Hal ini diperlukan agar 
konsepsi negara hukum yang demokratis tadi dapat berfungsi sebagai 
sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara, yakni welfare rechsstaat. Atau
 dalam bahasa sederhananya bahwa pelaksanaan politik hukum melalui 
pembaharuan hukum harus mampu membawa kemajuan, melindungi seluruh 
tumpah darah dan mensejahterakan seluruh warga negara.
C. Politik Hukum Unifikasi Hukum
Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan dan setelah diundangkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 seharusnya segera berlaku suatu sistem hukum nasional yang utuh guna menghapus semua warisan hukum pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini disadari karena hukum-hukum kolonial itu tidak selaras dengan cita-cita proklamasi, juga bersifat menindas dan eksploitatif. Namun pada kenyataannya hukum-hukum itu tetap dipakai sebagai rujukan dan dipertahankan untuk menghindari kekosongan hukum.
Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan dan setelah diundangkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 seharusnya segera berlaku suatu sistem hukum nasional yang utuh guna menghapus semua warisan hukum pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini disadari karena hukum-hukum kolonial itu tidak selaras dengan cita-cita proklamasi, juga bersifat menindas dan eksploitatif. Namun pada kenyataannya hukum-hukum itu tetap dipakai sebagai rujukan dan dipertahankan untuk menghindari kekosongan hukum.
Bersamaan dengan itu perundang-undangan 
ternyata juga masih mengakui berlakunya hukum adat, dan hukum Islam. 
Karena itu, politik hukum unifikasi dalam pembaharuan hukum dilaksanakan
 untuk mendorong kebijakan pembaharuan hukum yang mengarah pada 
penggantian hukum-hukum warisan kolonial, dan pengkooptasian hukum adat 
yang sangat beragam serta hukum Islam menjadi hukum positif negara.
Sementara itu ketentuan hukum-hukum 
internasional yang tercipta akibat masuknya Indonesia sebagai anggota 
organisasi badan-badan internasional, regional dan atau kerjasama 
bilateral serta ratifikasi berbagai perjanjian maupun yang berkaitan 
dengan hak asasi manusia juga telah berimplikasi terhadap kewajiban 
negara untuk membuat undang-undangnya, bahkan sekaligus kewajiban untuk 
menyelaraskan prinsip-prinsip hukum nasional yang kita miliki terhadap 
instrumen-instrumen internasional di mana kita terkait di dalamnya.
Pluralisme hukum tersebut juga 
diperbanyak oleh berkembangnya peraturan daerah (perda) sebagai dampak 
penyelenggaraan otonomi daerah serta aturan-aturan tertulis di luar tata
 urutan perundang-undangan. Di mana ketentuan dalam peraturan-peraturan 
tersebut lebih menekankan pada peran dan kekuasaan lembaga-lembaga 
negara (termasuk pemerintahan daerah) dalam membentuk dan menafsirkan 
hukum tertulis guna mencapai tujuan lembaga-lembaganya.
Karena itu, dalam pelaksanaan politik 
hukum unifikasi tidak sepenuhnya dapat terlaksana. Kekuasaan negara 
untuk melakukan unifikasi hukum tetap saja terbatas. Bahkan dalam negara
 yang menganut sistem politik totaliter sekalipun, tidak begitu saja 
dapat menghapuskan keanekaragaman hukum yang hidup dan berkembang di 
wilayah kekuasaannya. Karena selain keterbatasan kemampuan negara tadi, 
hukum dalam kenyataannya tidak semata-mata “ditemukan” dalam masyarakat 
seperti yang dipikirkan oleh von Savigny. Hukum hakekatnya adalah aturan
 atau ketentuan yang merupakan hasil interelasi sistem sosial-politik 
yang terkait dalam rantai sejarah, nilai-nilai dalam masyarakat, 
perilaku elit kekuasaan serta pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah 
kekuasaan. Dan pembaharuan hukum adalah politik hukum yang dipengaruhi 
oleh ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada sebelumnya, dan dominasi 
sistem politik yang menyelimuti. Di mana dari berbagai penilitian yang 
telah ada dapat disimpulkan; (1) dalam negara yang memiliki sistem 
politik demokratik, produk hukumnya berkarakter populis, progresif, dan 
terbatas interpretasi, dan (2) dalam negara yang memiliki sistem politik
 non-demokratik, produk hukumnya berkarakter elitis, konsevatif dan 
terbuka interpretasi.
Meskipun demikian, yang terpenting dalam
 politik hukum unifikasi perundang-undangan ini adalah bagaimana 
mengambil sebanyak mungkin nilai-nilai dari plurailisme hukum yang hidup
 dan berkembang di dalam masyarakat tersebut menjadi hukum positif 
negara, sehingga hukum yang dilahirkan dapat diterima oleh seluruh warga
 negara sebagai energi positif dalam mewujudkan cita-cita bangsa. 
Karenanya, kemungkinan masih adanya pluralisme hukum di masa yang akan 
datang semata-mata hanya untuk mewadahi kearifan lokal yang memang 
merupakan kekhasan daerah dan atau etnis tertentu yang justru memberikan
 keuntungan lebih jika tidak dilaksanakan politik hukum unifikasi secara
 kaku. 
D. Politik Legislasi Pasca Amandemen
Ternyata tidak saja lembaga-lembaga negara kemudian menjadi sederajat pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi pun mengalami perubahan yang fundamental. Dari yang semula presidensial heavy, bergeser ke DPR. Hal ini dapat dilihat dari perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD1945; dari “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dengan persetujuan DPR”.
Ternyata tidak saja lembaga-lembaga negara kemudian menjadi sederajat pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi pun mengalami perubahan yang fundamental. Dari yang semula presidensial heavy, bergeser ke DPR. Hal ini dapat dilihat dari perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD1945; dari “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dengan persetujuan DPR”.
Tidak hanya sampai disitu, perubahan 
tersebut diikuti dengan berubahnya pula Pasal 20 UUD 1945, yaitu (1) DPR
 mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap rencangan 
undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan 
bersama; (3) jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
 bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam 
persidangan DPR masa itu; (4) Presiden mengesahkan rancangan 
undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang; (5) 
dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut 
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan
 undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah 
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Perubahan Pasal 20 UUD 1945
 ini jelas menghilangkan dominasi presiden dalam proses pembentukan 
undang undang, dan sekaligus menggesernya ke DPR.
Fungsi legislasi DPR itu juga 
menunjukkan adanya superioritas terhadap fungsi legislasi DPD. Karena 
DPD hanya diberi kewenangan untuk mengajukan dan ikut membahas rancangan
 undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan 
daerah, pembentukan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan 
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan 
keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, meskipun DPD memiliki ruang 
dalam proses legislasi, tetapi tidak cukup untuk dapat mengatakan bahwa 
DPD mempunyai fungsi legislasi. Sebab, fungsi legislasi harus dilihat 
secara utuh, yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai pemberian 
persetujuan terhadap rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Superioritas atau monopoli fungsi 
legislasi DPR seperti itu ternyata telah menjadi catatan banyak pakar 
untuk perlunya koreksi terhadap Pasal 20 hasil amandemen tersebut. 
Karena, dalam lembaga perwakilan rakyat yang menganut sistem bikameral, 
dua lembaga yang ada memiliki harmoni kewenangan dalam fungsi legislasi.
 Dalam hal ini, meskipun Majelis Tinggi (Senates/House of Lords) tidak 
memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang tetapi berhak 
untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto) rancangan 
undang-undang dari Majelis Rendah (Kongress/House of Representatives). 
Di beberapa negara, jika kewenangan seperti itu tidak ada, maka House of
 Lords diberi hak untuk dapat menunda pengesahan rancangan undang-undang
 yang telah mendapat persetujuan dari House of Representatatives.
Hal yang demikian itu tentu dimaksudkan 
agar fungsi legislasi DPR tidak dijadikan kekuatan politik untuk 
melanggengkan kepentingan partai-partai politik yang mendominasi DPR. 
Sebab, menurut banyak pakar, dengan fungsi legislasi DPR yang ada 
sekarang ini sering digunakan sebagai instrumen untuk memproduksi 
undang-undang yang memperkuat supremasi DPR dengan tanpa dialasi 
kebutuhan rasional.
Pendapat seperti itu tentu debatable, 
sebab meskipun DPD tidak memiliki fungsi legislasi secara utuh tatapi 
tidak serta merta politik hukum perundang-undangan kita telah menyimpang
 dari konstitusi. Karena jika hal yang demikian itu terjadi maka pihak 
yang berkepentingan yang memiliki legal standing dapat mengajukan 
keberatan terhadap isi undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.
Yang terpenting dalam kaitan dengan 
fungsi legislasi DPR ini adalah bagaimana program legislasi nasional 
yang merupakan instrument utama perencanaan program pembentukan hukum 
nasional, yang ditetapkan setiap tahun itu merupakan kebutuhan rasional 
bangsa dan negara. Sejalan dengan itu berbagai langkah perbaikan dalam 
penataan kelembagaan berikut fungsinya, termasuk DPD dapat dicapai 
secara optimal. Hal ini dimaksudkan agar perundang-undangan yang telah 
dibentuk dapat menjadi “bagian-bagian” dari bangunan yang berpondasi UUD
 1945. Persoalannya adalah bagaimana kita segera dapat menyusun grand 
design bangunan rumah undang-undang kita, agar dapat dibayangkan bentuk 
arsitekturnya sehinga dapat dijadikan acuan dalam mengkonstruksi politik
 hukum perundang-undangan nasional.
E. Harmonisasi Hukum
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa dalam negara hukum, maka konstitusi (baca: UUD 1945) harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini, maka sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum, yang menjadi bingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun menjadi sebuah sistem. Di mana setiap norma hukum dalam sistem tersebut tidak boleh mengesampingkan atau bahkan bertentangan norma hukum yang lainnya.
Dengan demikian dalam negara hukum, 
sistem hukumnya harus tersusun dalam tata norma hukum secara hirarkis 
dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-norma hukumnya baik 
secara vertikal maupun horizontal. Sehingga jika terjadi konflik antar 
norma-norma tersebut maka akan tunduk pada norma-norma logisnya, yakni 
norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi.
Karakteristik dari norma hukum yang 
bersumber pada norma dasar itu meliputi prinsip konsistensi dan 
legitimitas. Di mana suatu norma hukum tetap akan berlaku dalam suatu 
sistem hukum sampai daya lakunya diakhiri melalui suatu cara yang 
ditetapkan dalam sistem hukum, atau digantikan norma lain yang 
diberlakukan oleh sistem hukum itu sendiri. Dalam karakteristik tersebut
 maka berlaku prinsip-prinsip, antara lain lex posterior derogate legi 
priori (norma hukum yang baru membatalkan norma hukum yang terdahulu), 
lex superior derogate legi inferiori (norma hukum yang lebih tinggi 
tingkatannya membatalkan norma hukum yang lebih rendah), dan lex 
specialis derogate legi generalis (norma hukum yang bersifat khusus 
membatalkan norma hukum yang bersifat umum).
Namun demikian terhadap prinsip hukum 
yang terakhir di atas (baca: lex specialis) tersebut tentu berlaku yang 
sebaliknya, artinya merupakan keadaan “menyimpang” dari ke-harmonisasian
 norma-norma dalam tatanan hirarki sistem hukum nasional. Hal ini tentu 
hanya boleh terjadi apabila norma-norma hukum yang umum memang tidak 
jelas atau mengatur norma hukum yang memang dibutuhkan. Sehingga 
meskipun lex specialis dapat dipandang sebagai suatu “masalah” dalam 
politik harmonisasi hukum, ia masih berada dalam koridor atau kerangka 
hukum beralas dari norma-norma dasar dalam konstitusi.
Dalam kaitan politik harmonisasi hukum 
tersebut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan 
Perundang-undangan telah memberikan pedoman dalam pembentukan peraturan 
perundang-undangan antara lain diatur: (1) mengenai asas sebagaimana 
diatur dalam Pasal 5; (2) materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 
6; (3) jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
 dalam Pasal 7; dan Bab V tentang pembentukannya. Di mana khusus tentang
 “harmonisasi” dalam UU No. 10 Tahun 2004 ini memang hanya disebut satu 
kali, yakni dalam Pasal 18 ayat (2). Dalam Pasal ini disebutkan; 
“Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan 
undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri 
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”
 (baca: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia).
Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat 
(2) tersebut maka harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada suatu
 kementerian, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini 
dikandung maksud agar norma-norma dalam rancangan undang-undang dimaksud
 tidak bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal 
dengan undang-undang lain. Sayangnya dalam politik harmonisasi hukum ini
 tidak mutatis mutandis diberlakukan terhadap rancangan undang-undang 
hasil inisiatif DPR, dan juga jenis peraturan perundang-undangan yang 
lain: (a) Peraturan Pemerintah; (b) Peraturan Presiden; (c) Peraturan 
Daerah. Akibatnya, secara normatif terhadap peraturan perundang-undangan
 itu tidak terikat “proses” harmonisasi dalam pembentukannya. Bersyukur 
bahwa dalam penyusunan jenis peraturan perundang-undangan tersebut 
secara konvensi prosesnya juga diharmonisasikan ke Departemen Hukum dan 
Hak Asasi Manusia. Namun jelas hal itu tidak mengikat secara hukum, 
padahal politik harmonisasi ini sesungguhnya wajib hukumnya. Hal ini 
diperlukan guna meminimalisir judicial review ke Mahkamah Konstitusi 
atau Mahkamah Agung. Selain itu politik harmonisasi hukum sendiri adalah
 keniscayaan dalam suatu negara hukum.
F. Penutup 
Negara Indonesia adalah negara hukum, maka politik hukum peraturan perundang-undangannya didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu visi pembangunan hukum yang merupakan arah kebijakan politik hukum nasional juga harus diletakan di atas tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan oleh founding fathers kita dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan supremasi konstitusi dan menjadikan konstitusi benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
Negara Indonesia adalah negara hukum, maka politik hukum peraturan perundang-undangannya didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu visi pembangunan hukum yang merupakan arah kebijakan politik hukum nasional juga harus diletakan di atas tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan oleh founding fathers kita dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan supremasi konstitusi dan menjadikan konstitusi benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
Dalam hal itu, maka politik hukum 
pembaharuan peraturan perundang-undangan diarahkan menuju unifikasi 
hukum yang harmonis dalam bingkai grand design, sehingga norma-normanya 
tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal, atau 
bahkan menjadikan hukum kita “lepas dari orbit”. Meskipun harus disadari
 bahwa unifikasi dan harmonisasi dapat saja terlanggar, sepanjang hal 
tersebut karena ke khas-an Indonesia, lex specialis dan lebih bermanfaat
 bagi bangsa dan negara.
Pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi heavy nya telah bergeser ke DPR, dan para pakar telah mengamati bahwa ini bisa saja “dipakai” untuk memperkuat supremasi DPR. Karenanya agar politik hukum peraturan perundang-undangan kita tetap berciri populis, progresif dan limited interpretation, maka DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya harus berangkat dari aspirasi rakyat dan tetap dapat menjaga berkembangnya demokratische rechsstaat agar negara Indonesia yang berkesejahteraan (welvaartstaat, welfare state) dapat diwujudkan. People are the true legislators, and parlemen is people representative.
Pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi heavy nya telah bergeser ke DPR, dan para pakar telah mengamati bahwa ini bisa saja “dipakai” untuk memperkuat supremasi DPR. Karenanya agar politik hukum peraturan perundang-undangan kita tetap berciri populis, progresif dan limited interpretation, maka DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya harus berangkat dari aspirasi rakyat dan tetap dapat menjaga berkembangnya demokratische rechsstaat agar negara Indonesia yang berkesejahteraan (welvaartstaat, welfare state) dapat diwujudkan. People are the true legislators, and parlemen is people representative.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Basah, Sjachran, 1986. Tiga Tulisan Tentang Hukum, Armico, Bandung
Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Carney, Gerard, 1993. Sparation of Powers in the Westminster System, Parliement House Brisbane, Australia
Gaffar, Afan, 2005. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Gaffar, Afan, 2005. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hamilton, Lee H., 2004. How Congress Works and Why You Should Care, Indiana University Press, New Heaven
Jimly Asiddiqie, 2003. Struktur 
Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, 
Makalah pada Syposium Nasional BPHN, Jakarta
______________, 2009. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, BIP, Jakarta
Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York
Kusumaatmadja, Mochtar, 1986. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung
Lijphart, Arend, 1999. Pattern of 
Democracy: Government Forms and Performance in Thirtysix Countries, Yale
 University Press, New Heaven and London
Logeman, J.H.A., 1975. Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Iktiar Baru-Van Hoeve, Jakarta
Lubis, M. Solly, 1992. Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung
Manan, Bagar, 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, IND-Hill, Co, Jakarta
Rajaguguk, Erman, 1999. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, FH UII, Yogyakarta
Rasjidi, Lili, 1996. Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Rawls, John, 1973. A Theory of Justice, Oxford University Press, New York
Saragih, Bintan R., Tanpa Tahun. Politik Hukum, Pusat Studi HTN Univ. Trisakti, Jakarta
Sidharta, Bernard Arief, 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung
Tourine, Alain, 1997. West is Democracy?, West Press, Colorado
Utrecth, E, 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Sumber : http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/64-politik-hukum-perundang-undangan.html 



 Time in Jakarta 
0 komentar:
Posting Komentar