Baru-baru ini, UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989
 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik 
Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap 
perundang-indangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan 
secara luas. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa 
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan 
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang 
beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan 
ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan 
menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 
2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi 
syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga 
berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan 
syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan 
syari’ah dan k. bisnis syari’ah. Amandemen ini membawa implikasi baru 
dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk 
menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah 
diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap 
sebagai hukum syari’ah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989
 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan 
syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan 
terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-undang hukum sipil
 Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia 
Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum 
Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat,
 tetapi yang berlaku adalah BW.
Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang 
perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang 
ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan 
hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga 
perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa 
menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah 
diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah 
tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.
Urgensi Kodifikasi
Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi 
wewenang absolut hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya 
kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap agar hukum ekonomi syariah
 memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standart dalam
 menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syari’ah. Dalam 
bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah memiliki KHI (Kompilasi
 Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita belum 
memilikinya. Kedudukan KHI secara konstitusional, masih sangat lemah, 
karena keberadaannya hanyalah sebagai inpres. Karena itu dibutuhkan 
suatu aturan hukum yang lebih kuat yang dapat menjadi rujukan para hakim
 dalam memutuskan berbagai persoalan hukum . Untuk itulah kita perlu 
merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam, sebagaimana yang dibuat 
pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-’Adliyah yang 
terdiri dari 1851 pasal. Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan 
menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan Dalam
 sejarahnya, formulasi suatu hukum atau peraturan dibuat secara tertulis
 yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah 
berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis tersebut yang disebut
 corpus juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian banyak, 
maka dibutuhkan sebuah kodifikasi hukum yang menghimpun berbagai macam 
peraturan perundang-undangan. Para ahli hukum dan hakim pun berupaya 
menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar mereka bisa 
menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah 
masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan..
Berdasarkan dasar pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah yang berasal
 dari fikih muamalah, yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga
 keuangan syariah, memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan 
penerapannya dalam kegiatan usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah 
tersebut. Dalam pengambilan keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi
 syariah dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan
 adanya kepastian hukum sebagai dasar pengambilan keputusan di 
Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik bidang muamalah yang 
bersifat “elastis dan terbuka” sangat memungkinkan berfariasinya 
putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat 
menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan demikian lahirnya Kodifikasi
 Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata 
Islam menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi materi Kodifikasi Hukum Ekonomi 
Syariah tidak terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan 
Indonesia. Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa 
dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi 
syariah. Artinya, keputusan hukum masa lampau itu difikihkan, karena 
dinilai sesuai dengan syariah. Jadi pekerjaan para mujtahid ekonomi 
syariah Indonesia, bukan saja merumuskan hukum ekonomi baru yang berasal
 dari norma-norma fikih/syariah, tetapi bagaimana bisa memfikihkan hukum
 nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari KUH Perdata
 (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah, maka materi dan 
keputusan hukumnya dalam bentuk yurusprudensi bisa ditaqrir atau 
diadopsi.
KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil Perancis ini 
dalam pembuatannya mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir
 yang bermazhab Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak 
kesamaan prinsip-prinsip dalam KUH Perdata dengan ketentuan fikih 
Muamalah tersebut, seperti hibah, wadi’ah dan lain-lain. Selain itu, 
yurisprudensi putusan ekonomi syariah, mungkin juga bisa dicari dari 
penerapan hukum adat di dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita
 yang sedikit banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. 
Yang paling bagus adalah merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam
 yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani yang disebut 
Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah” KUH Perdata Islam ini dapat dikembangkan 
dan diperluas bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas 
perekonomian di zaman modern ini.
Selain itu, penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum 
Perdata Islam, harus menggunakan ilmu ushul fiqh dan qawa’id fiqh. 
Disiplin ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak 
diperlukan para mujtahid. Dengan demikian maqashid syariah perlu menjadi
 landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan 
pertimbangan-pertimbangan ‘kemaslahatan’ menjadi penting. Dengan 
demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung 
aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, Kodifikasi Hukum Ekonomi 
Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginaring) 
masyarakat muslim Indonesia. Secara teoritis penerapan Kodifikasi Hukum 
Ekonomi Syariah di Indonesia ini dapat terwujud melalui peran penting 
pemerintah ‘Political Will’ Penguasa, sebagaimana telah diterapkan pada 
Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini. Untuk menyusun Kodifikasi 
Hukum Ekonomi Syariah, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat 
penting, mengingat IAEI adalah kumpulan para pakar ekonomi syariah 
Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka.
sumber : www.google.com



 Time in Jakarta 
0 komentar:
Posting Komentar