TINDAK PIDANA KORUPSI
“Power tend to corrupt and absolut power corrupts absolutely”
Pengantar
     Mengawali tulisan perihal kurupsi, ungkapan usang yang dikemukakan 
oleh Lord Action bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan 
yang absolut cenderung korupsi absolut senagaja  dikutip untuk 
mengingatkan bahwa kekuasaan sangat rentan terhadap korupsi. Bahkan 
empat tipe korupsi yang dikemukakan oleh Piers Beirne dan James 
Messerschmidt semuanya berkaitan erat dengan kekuasaan. Keempat tipe 
tersebut adalah :
a. Political bribery
   Termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk 
undang – undang, secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu 
kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering
 berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap
 anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan 
mereka.
b. Political kicback
  Kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan 
borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang 
untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak – pihak yang bersangkutan.
c. Election fraud,
 Korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.
d. Corrupt campaign practices
Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.
  Terlepas dari rentannya kekuasaan terhadap korupsi, saat ini ketika 
memasuki abad ke-21 visi masyarakat internasional termasuk Indonesia 
terdapat kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan 
praktek – praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya 
deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7 11 
September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 
negara.
Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration  of 8 th 
International Conference against corruption  diyakini bahwa korupsi  
mengerori tatanan moral masyarakat., mengingkari hak – hak sosial dan 
ekonomi dari kalangan kurang mampu dan lemah. Demikian pula korupsi 
dianggap menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum yang merupakan 
dasar dari setiap masyarakat, memundurkan pembangunan dan menjauhkan 
masyarakat dari manfaat persaingan bebas dan terbuka, khususnya bagi 
kalangan kurang mampu.
Konferensi tersebut juga mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah 
urusan setiap orang dari setiap masyarakat. Memerangi korupsi mencakup 
pula mempertahankan dan memperkuat nilai – nilai etika dalam semua 
masyarakat. Karena itu sangat penting untuk menumbuhkan kerjasama 
diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak usaha swasta. Peran 
dari masyarakat sipil adalah untuk menghilangkan resistensi yang muncul 
dari pihak – pihak yang menyukai status quo dan untuk memobilisasi 
masyarakat umum untuk melakukan reformasi guna memberantas korupsi.
Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The Negotiation Of
 The United Nation Conventions Against Corruption sejak tanggal 1 
Oktober 2003 lebih kurang 107 negara telah menyetujui korupsi sebagai 
transnational crime. Indonesia termasuk salah satu negara yang telah 
menyetujui Convention Against Corruption yang diselenggarakan di Wina 
tersebut. Ulasan selanjutnya akan  membahas pengertian korupsi dan 
perkembangan peraturan yang menyangkut pemberantasan korupsi sejak tahun
 1957.
Pengertian Korupsi
Dilihat dari segi peristilahan, kata korupsi berasal dari bahasa latin 
corruptio atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. 
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal 
corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah 
turun ke banyak bahasa du Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; 
Perancis corruption, dan Belanda corruptie (korruptie). Dapat diduga 
istlah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke
 dalam bahasa Indonesia “korupsi”.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, 
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari 
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti 
dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary: corruption (L. 
Corruptio (n-) The act of corrupting or the state of being 
corrupt;putrefactive decomposition. Putrid matter; moral perversion; 
depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceeding, 
bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a 
language; a debased from of a word”.
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
 bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam kamus Umum 
Bahasa Indonesia “ Korupsi adalahperbuatan yang buruk seperti 
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia
 tidak dugunakan kata korupsi melainkan kata peraturan “ anti 
kerakusan”. Sering pula malaysia menggunakan istilah resuab yang 
tentulah berasal dari bahasa Arab (riswab). Menurut kamu Arab-Indonesia 
riswab artinya sama dengan korupsi.  Dengan pengertian korupsi secara 
harafiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi 
itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti disimpulkan dalam
 Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam 
ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah 
korupsi bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita
 mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologi misalnya, seperti hal yang 
dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of 
Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif, 
begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan 
nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam klasifikasinya memasang 
keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi syarat untuk
 itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum 
pidana.
Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan ekonomi yang mengutip pendapat Smith sebagai berikut.
Of the whole corruption in  Indonesia appears to present more of a 
recurring political problem than a economic one. It undermines the 
legitimacy of the government in the eyes of the young, educated elite 
and most civil servant. Corruption reduces support for the government 
among eliles at the province and regency level. (Secara keseluruhan 
korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari 
pada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimana 
generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. 
Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di 
tingkat propinsi dan kabupaten).
  Meluasnya kejahatan korupsi di Indonesia telah terjadi sejak orde lama
 dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. Hal ini setidaknya dapat 
dilihat dari latar belakang munculnya beberapa peraturan tentang 
pemberantasan korupsi. Setelah KUHP dirasakan tidak mampu lagi menjerat 
pelaku kejahatan korupsi, peraturan perundangan yang menjadi dasar 
penanggulangan kejahatan ini telah silih berganti. Upaya perbaikan yang 
menyangkut perumusan delik, perluasan perbuatan, perluasan subyek delik,
 maupun hukum acara agar mampu menjangkau pelaku korupsi telah 
dilakukan.
Peraturan Penguasa Perang Pusat
Pada tanggal 14 Maret 1957 seluruh wilayah Indonesia termasuk semua 
perairan teritorialnya dinyatakan dalam keadaan darurat perang (Staat 
Oorlog van Beleg) melalui Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 1957. 
selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1957 dengan Keputusan Presiden 
Nomor 225 Tahun 1957 keadaan perang tersebut dicabut kembali dan 
seketika itu pula dinyatakan dalam keadaan perang. Dengan Undang-Undang 
Nomor 79 Tahun 1957 ternyata Keputusan presiden Nomor 225 Tahun 1957 
disahkan oleh DPR, sehingga dengan demikian keadaan perang diseluruh 
wilayah Republik Indonesia termasuk semua teritorial perairannya itu 
tetap berlaku sampai satu tahun sejak disahkannya dengan undang-undang 
(lihat Undang-Undang  Nomor 74 1957).
Sehubungan dengan peryantaan keadaan perang telah disahkan menjadi 
undang-undang, maka penguasa perang seperti yang disebutkan dalam Pasal 7
 ayat (2) Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 mempunyai kekuasaan untuk 
membuat peraturan-peraturan. Diantara sekian banyak peraturan yang 
dibuat oleh penguasa perang tersebut terdapat Peraturan Penguasa Militer
 tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor 
Prt/PM/03/1957. dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/011/PM/1957.
Pertimbangan dari peraturan yang pertama diatas (9 April 1957 Nomor 
Prt/PM/06/1957) menyatakan antara lain: Bahwa berhubung tidak adanya 
kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang 
merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai 
dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk 
dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan 
seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dapat diketahui adanya usaha untuk 
pertama kali memakai istilah ‘korupsi’ sebagai istilah hukum dan memberi
 batasan pengertian korupsi sebagai berikut, Perbuatan-perbuatan yang 
merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Dalam kaitan dengan berlakunya Pasal 60 Undang-Undang Nomor 74 Tahun 
1957 tentang Keadaan bahaya, ketiga peraturan penguasa militer tersebut 
diatas menurut hukum pada tanggal 17 April 1958 akan tidak berlaku lagi,
 maka diganti dengan peraturan pemberantasan Korupsi Prn Penguasa Perang
 Pusat Nomor Prtl Peperpul 013/1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada 
tanggal 16 April 1958 dalam Berita Negara Nomor 40/1958. pertimbangan 
peraturan ini, khususnya pada butir a dinyatakan, “Bahwa untuk 
perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau 
badan hukum yang mempergunakan modal dan atau keloggaran-kelanggaran 
lainnya dari masyarakat misalnya bank, wakaf  dan lain-lain atau yang 
bersangkutan dengan kedudukan si pembuatan pidana, perlu diadakan 
tambahan berupa peraturan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang 
dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.
Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pembuat 
peraturan masih  berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang 
terdahulu agar lebih efektif dalam memberantas korupsi. Fokus dari 
peraturan ini adalah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu 
menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang 
mempergunakan modal dan atau keloggaran yang lain dari masyarakat. Hal 
ini dapat dimengerti karena pada saat pembuatan peraturan itu (sekitar 
1957 – 1958) sedang ramai-ramainya pengambilalihan dan pengurusan 
perusahaan-perusahaan milik Belanda menjadi perusahaan Negara. Dari 
pertimbangan itu pula dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP saja tidaklah 
cukup untuk menampung segala masalah yang timbul berhubungan dengan 
perbuatan yang merugikan keuangan itu.
Kemudian peraturan tersebut di atas diberlakukan untuk wilayah hukum 
Angkatan Laut dengan surat keputusan kepala staf Angkatan laut Nomor 
Z/1/1/7, Tanggal 17 April 1958 (Berita Negara Nomor 42 Tahun 1958). 
Menarik dari ketentuan peraturan penguasa perang pusat (Angkatan Darat 
dan Laut) tersebut adalah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada 
bagian I Pasal 1 yang dijabarkan pada pasal 2 dan pasal 3. dalam 
pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa perbuatan korupsi terdiri atas 
perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi lainnya (pasal 1).
Dalam penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perbuatan korupsi pidana adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
 atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu 
badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau 
perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima
 bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan 
modal dan kelonggaran – kelonggaran masyarakat.
b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
 atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang 
dilakukan dengan menyalagunakan jabatan atau kedudukan.
c. Kejahatan – kejahatan tercantum dalam pasal 40 sampai dengan pasal 50
 peraturan penguasa perang pusat ini dalam pasal 209, pasal 210, pasal 
418, pasal 419 dan pasal 420 KUHP (pasal 2).
Batasan pengertian perbuatan korupsi dalam perkembangan selanjutnya 
unsur – unsur perbuatan korupsi diambil alih oleh undang – undang  yang 
lahir kemudian sebagai unsur delik dengan perbaikan redaksi serta 
penambahan delik-delik dari KUHP. Bila ditinjau dari apa yang tercantum 
pada penjelasan sub a tersebut diatas, maka unsur pertama dari korupsi 
adalah dengan atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran. 
Sedangkan unsur kedua yaitu, memperkaya diri sendiri atau orang lain 
atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan 
keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan
 yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang 
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
    Berdasarkan kedua unsur tersebut, pembuat peraturan tidak 
menjelaskan kejahatan atau pelanggaran macam apa yang dimaksud. Dengan 
demikian batasan korupsi menjadi sangat luas yang penting adalah membawa
 akibat memperkaya diri dan seterusnya.
Sementara yang dimaksud dengan korupsi pidana oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dijelaskan dalam Pasal 3 sebagai berikut:
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan 
melawan hukum  memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan 
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau 
daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari 
keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan 
modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan 
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan 
dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Berdasarkan pasal tersebut, yang menjadi pertanyaan penting ialah 
apakah yang dimaksud oleh pembuat peraturan dengan perkataan melawan 
hukum. Apakah ini terjemahan dari istilah onrechmating menurut hukum 
perdata ataukah wederreshtelijk menurut hukum pidana? Apabila melawan 
hukum sebagai terjemahan dari onrechmatige, maka disitu dianggap sebagai
 perbuatan perdata, bukan sebagai perbuatan pidana. Namun demikian unsur
 melawan hukum tidak dimaksudkan sebagai inrechtmating, tetapi memiliki 
pengertian formal wederrechtelijk dan materiaal wederrechtelijk.
Perlu dijelaskan bahwa melawan hukum adalah salah satu unsur mutlak dari
 perbuatan pidana. Biasanya unsur tersebut tidak perlu dinyatakan secara
 eksplisit dalam suatu rumusan delik. Apabila kata melawan hukum 
dimasukkan dalam rumusan delik, maka konsekuensinya unsur tersebut harus
 dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan. Kata melawan 
hukum yang terdapat dalam suatu rumusan delik memberikan makna melawan 
hukum khusus. Selain melawan hukum khusus, kata melawan hukum mempunyai 
tiga makna lainnya. Pertama, melawan hukum umum dalam pengertian melawan
 hukum sebagai elemen atau unsur perbuatan pidana. Kedua, melawan hukum 
formal dan yang ketiga adalah melawan hukum material sebagaimana 
tersebut diatas.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat 
tentang pemberantasan korupsi hanya bersifat darurat, temporer dan 
berlandaskan pada undang-undang Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal 
peraturan itu perlu dicabut dan jika masih dibutuhkan adanya peraturan 
tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus, perlu 
disusun dalam bentuk suatu undang-undang. Undang-undang yang dimaksudkan
 adalah Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 tentang Pengusutan, penuntutan
 dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pada awalnya, Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 berbentuk Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi 
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan  Semua Undang-Undang 
Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang 
sudah ada sebelum Tanggal 1 Januari 1961 menjadi Undang-Undang.
Definisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut 
dirumuskan dalam Pasal 1 menyatakan: Pertana, Tindakan seseorang yang 
dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya
 diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau
 tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah 
atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan 
negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan 
kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Kedua, Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu 
kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau 
badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Ketiga, Kejahatan tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21 Peraturan ini 
dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Apabila dicermati, rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960
 tidak banyak berbeda dengan peraturan penguasa perang tersebut diatas. 
Perumusan perbuatan korupsi pidana pasal 1 sub a (pertama) ternyata 
hanya mengambil alih peraturan sebelumnya dengan redaksi yang sepenuhnya
 sama, hanya saja perbuatan diganti dengan kata tindakan, karena 
undang-undang tersebut memakai istilah “tindak pidana” bukan “perbuatan 
pidana”. Kemudian rumusan langsung atau tidak langsung merugiukan 
keuangan negara dan seterusnya diganti dengan yang dilakukan dengan 
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Pada sub c (ketiga) ditunjuk kejahatan yang tercantum dalam pasal 41 
sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat, dan Pasal-Pasal KUHP yang 
dimaksud adalah pasal 209, 210, 418 dan 420 KUHP. Pasal-pasal tersebut 
berkaitan dengan penyuapan baik yang aktif (active amkoping), maupun 
yang pasif (passive omkoping). Kejahatan yang dipandang korupsi tetapi 
tidak dimasukkan dalam undang-undang tersebut adalah pasal 415 KUHP 
tetang penggelapan oleh pegawai negeri. Mungkin pembuat peraturan 
tersebut memandang bahwa kejahatan seperti itu sudah terangkum dalam sub
 a, seperti telaj diuraikan di depan. Penggelapan oleh pegawai negeri 
termasuk kejahatan yang sudah barang tentu merugikan keuangan atau 
perekonomin negara. Permasalahannya apakah orang itu memperkaya diri 
atau orang lain atau suatu badan dengan perbuatan penggelapan itu.
Perumusan sub c (ketiga) ini pun tercantum dalam Undang-Undang (PRP) 
Nomor 24 tahun 1960, dengan mengganti pasal 40 sampai 50 peraturan 
Penguasa Perang Pusat menjadi pasal 17 dan 21, sesuai dengan apa yang 
terdapat dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dimasukkan 
pasal-pasal KUHP yang bertalian dengan suap menyuap dan diperluas, 
sehingga meliputi pula pasal-pasal 1415, 416, 417, 423, 425, 435 KUHP.
Memang ini menjadi kekurangan Peraturan Penguasa Perang Pusat karena 
penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi 
disamping masalah suap menyuap (209, 210, 418, 419, dan 420). Demikian 
pula dengan pasal 423, dan pasal 425 merupakan bentuk extortion yang 
disebut knevelary.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai ketentuan undang-undang nomor 24 tahun 1960 dalam 
perkembangannya dirasakan tidak mampu untuk menyelamatkan keuangan dan 
perekonomian negara. Oleh karena itu perlu diganti dengan undang-undang 
baru tentang pemberantasan korupsi yang meliputi ketentuan-ketentuan 
tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pindana korupsi. 
Unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam undang-undang nomor 24 tahun 
1960 tidak lagi dapat menjerat perbuatan-perbuatan yang merugikan 
keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan nasional.
Hal ini diakibatkan unsur tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya 
suatu kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang 
bersangkutan. Jelas hal ini bertentangan dengan perasaan keadilan 
masyarakat. Dalam kenyataannya banyak perbuatan yang merugikan keuangan 
dan perekonomian negara, tidak selamanya didahului oleh suatu kejahatan 
atau pelanggaran. Perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat 
koruptif tidak dapat dipidana berdasarkan undang-undang nomor 24 tahun 
1960.
Atas dasar tersebut, undang-undang nomor 24 tahun 1960 kemudian diganti 
dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1971. rumusan tindak pidana korupsi 
menurut undang-undang nomor 3 tahun 1971 mencakup perbuatan-perbuatan 
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan 
secara melawan hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat 
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau 
patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau 
perekonomian negara.
Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro 
parte dolus pro parte culpa. Artinya, bentuk kesalahan disini tidak 
hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan 
berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara,
 sudah dapat menjerat pelaku. Rumusan seperti ini mudah dalam hal 
pembuktian. Demikian pula dengan sarana melawan hukum, baik mengandung 
pengertian melawan hukum formil maupun materil, memudahkan pembuktian 
perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang 
lain atau suatu badan. Jelas sekali bahwa rumusan seperti itu lebih 
mudah untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi dari pada 
memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan atau 
pelanggaran sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang nomor 24 
tahun 1960.
Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Momor 3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
 sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau 
tidak langsung  merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, 
atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut 
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain 
atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana 
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung 
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian 
negara.
c. Barangsiapa melaukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 
387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423 dab 435 KUHP.
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti 
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu 
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si 
pemberi hadiah atau janji dianggap melekay pada jabatan atau kedudukan 
itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang 
sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang 
diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 
dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
 berwajib.
f. Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan 
tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e  pasal
 ini.
  Dari rumusan tersebut diatas jelaslah bahwa undang-undang nomor 3 
tahun 1971 lebih progresif bila dibandingkan dengan undang-undang 
sebelumnya. Beberapa catatan perihal progresif dari undang-undang 
tersebut adalah: Pertama, unsur melawan hukum tindak pidana korupsi 
dirumuskan sedemikian rupa hingga meliputi perbuatan-perbuatan 
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, baik secara 
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan 
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan 
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
     Kedua, undang-undang tersebut tidak lagi mensyaratkan adanya 
kejahatan atau pelanggaran seperti undang-undang sebelumnya. Ketiga, 
terdapat tambahan pasal 387 dan pasal 399 KUHP. Keempat, adanya ancaman 
pidana terhadap orang yang menerima pemberian atau janji seperti 
tersebut padal pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian 
atau janji tersebut kepada yang berwajib. Kelima atau yang terakhir 
adalah percobaan dan permufakatan jahat disamakan dengan pelaku.
   Selain itu perlu dicatat bahwa dalam undang-undang tersebut  terdapat
 perluasan pengertian pegawai negeri. Dalam pasal 2, pengertian pegawai 
negeri meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari 
keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu
 badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau 
daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan 
kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
   Latar belakang dicantumkannya perluasan pengertian pegawai negeri 
adalah karena berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini, orang-orang 
bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi, dengan 
menerima tugas tertentu dari suatu badan negara atau badan yang menerima
 bantuan dari negara, dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan korupsi 
atau perbuatan tercela seperti tersebut diatas.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bola salju yang tengah digulirkan pasca runtuhnya rezim orde baru pada 
tahun 1998, salah satunya diantaranya adalah mewujudkan pemerintahan 
yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini sebagai dampak 
bahwa perbuatan korupsi telah menimbulkan  kerugian negara yang sangat 
besar. Dampak selanjutnya adalah timbulnya krisis di berbagai bidang 
kehidupan. Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi 
perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi 
hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Atas dasar tersebut, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti, karena dirasakan 
sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi canggihnya modus operansi 
perbuatan korupsi. Diharapkan undang-undang yang baru mampu memenuhi dan
 mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka 
mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak 
pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian 
negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
 diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan 
keuangan negara atau perekonomian negara, (pasal 2).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
 lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
 sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang 
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan 
negara atau perekonomian negara (Pasal 3).
3. Melakukan perbuatan pidana menurut pasal 209, 210, 387, 388, 515, 
416, 417, 418, 419, 420, pasal 423, pasal 425, pasal 435 (Pasal 5 s.d 
12)
4. Setiap orang yang memberikan hadia atau janji kepada pegawai negeri 
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau 
kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada 
jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).
5. Setipa orang yang melanggar ketentuan Undang – Undang yang secara 
tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang – Undang 
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur 
dalam Undang – Undang ini (Pasal 14).
6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan 
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidanakan dengan pidana 
yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 pasal 3, pasal 5 sampai 
dengan pasal 14.
7. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang 
memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya
 tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku 
tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai
 dengan pasal 14.
8. Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 
pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana 
tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.
     Selain memperluas pengertian perbuatan yang dapat 
dikualifikasikan sebagai korupsi, undang – undang juga menegaskan bahwa 
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak 
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 4). 
Meskipun berlebihan penegasan ini penting karena kerugian keuangan 
negara merupakan salah satu unsur esensial dalam perbuatan pidana 
korupsi. Dengan ketentuan itu, perbuatan pidana korupsi tidak dihapuskan
 sekalipun kemudian unsur kerugian negara tidak terbukti di pengadilan, 
karena telah dikembalikan oleh tersangka.
   Dikatakan berlebihan karena prinsip dalam hukum pidana yang dituntut 
adalah perbuatannya, bukan karena soal adanya kerugian. Walaupun 
demikian kiranya perlu diberi catatan, apabila pengembalian atas 
perbuatan yang dinilai sebagai tindak pidana korupsi itu dikembalikan 
secara suka rela tanpa adanya unsur dari luar sebelum perkara itu 
diketahui oleh publik atau aparat penegak hukum, maka atas pengembalian 
secara suka rela tersebut tidak dapat menjadi dasar penuntutan. Terhadap
 pengembaian secara suka rela sebelum perkara itu diketahui publik atau 
aparat penegak hukum, seharusnya diperlakukan sebagai sifat melawan 
hukum dalam fungsi yang negatif.
    Adapun pemberatan pidana menurut undang-undang ini selain ancaman 
pidana yang lebih berat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, 
undang-undang ini juga sebelumnya, undang-undang ini juga memberikan 
pemberatan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a. Terhadap perbuatan pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan 
tertentu. Ancaman pidanya dapat berupa pidana mati. Adapun yang 
dimaksudkan dengan keadaan tertentu ialah keadaan dimana negara:
- Ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku
- Terjadi bencana alam nasional
- Pengulangan tindak pidana korupsi dan
- Dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter
b. Apabila oleh undang-undang lain dinyatakan sebagai perbuatan korupsi, maka diberlakukan undang-undang
c. Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama
d. Orang di luar negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau
 keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan 
pidana yang sama dengan pelaku
e. Dilakukan dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
f. Dalam perkara pidana korupsi selain pidana tambahan sebagaimana 
dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan 
berupa: pertama, perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak 
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang 
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik 
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari 
barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Kedua, pembayaran uang 
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
 diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam tenggang waktu 
satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan 
hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya
 dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti 
tersebut. Namun apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang 
mencukupi untuk membayar harta benda yang mencukupi untuk membayar uang 
pengganti, maka dipindana dengan pidana penjara yang lamanya tidak 
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya yang sudah ditentukan 
dalam putusan pengadilan. Ketiga, penuntutan seluruh atau sebagai 
perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan 
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau 
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh 
pemerintah kepada terpidana.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Pada tanggal 21 November 2001 melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 
diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 1999 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut,
 tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang 
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Hal ini dikarenakan 
kejahatan korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga 
telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi 
masyarakat. Disamping itu juga terdapat perubahan dan tambahan 
menyangkut rumusan perbuatan maupun ketentuan perihal pembuktian.
Jika bersandar pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 beberapa pasal 
dalam KUHP diambil alih dengan menyebutkan sebagaimana dimaksud dalam 
KUHP. Akan tetapi dengan undang-undang yang baru langsung disebutkan 
unsurnya, tanpa menyebut KUHP. Persoalan ini menimbulkan silang pendapat
 sehubungan dengan adanya asas yang menyatakan apabila terdapat 
ketentuan yang sama, maka kepada terdakwa harus dikenakan pidana yang 
paling ringan. Di samping itu berkaitan dengan rumusan perbuatan 
korupsi, undang-undang juga menambahkan perbuatan gratifikasi sebagai 
tindak pidana korupsi. Gratifikasi adalah perbuatan yang dapat berupa 
pemberian uang, tiket perjalanan, barang, rabat, komisi, pinjaman 
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas 
lainnya. Adapun perihal pembuktian terdapat perluasan mengenai sumber 
perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat 
bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan 
keterangan terdakwa. Akan tetapi menurut undang-undang tersebut, bukti 
petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi
 yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik 
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada
 data penghubung elektronik (electronic data inter change), surat 
elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan fasimili, dan dari dokumen 
yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan 
atau di dengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu 
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain 
kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, 
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau 
perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan lain adalah menyangkut pembuktian terbalik yang bersifat 
premium remidium dan sekaligus memgandung sifat prevensi khusus. 
Pembuktian terbalik mengandung arti bahwa terdakwalah yang harus 
membuktikan di pengadilan bahwa dia tidak melakukan korupsi. Sementara 
prevensi, khusus ditunjukkan terhadap pegawai negeri sebagaimana 
dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara 
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, 
Kolusi, dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
 Pemberantasan korupsi yang sudah akut, dirasakan tidak cukup hanya 
dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi serta 
cara-cara yang konvensional. Diperlukan metode dan cara tertentu agar 
mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara ialah dengan 
menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luas biasa,  sehingga 
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi 
dituntut cara-cara yang luar biasa. Oleh karena itu diperlukan metode 
penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan 
khusus. Kewenangan badan khusus tersebut bersifat independen serta bebas
 dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi 
yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, 
profesional serta berkesinambungan.
Sebenarnya pembentukan badan khusus tersebut telah diamanatkan oleh 
pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak 
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 
tahun 2001. badan khusus itu selanjutnya disebut dengan Komisi 
Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya badan ini memiliki 
kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan 
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Agar tidak terjadi tumpang 
tindih kewenangan dengan penegak hukum yang lain seperti POLRI dan 
Kejaksaaan, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan 
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi 
tindak pidana korupsi yang:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
 yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh 
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan 
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang 
kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara 
efisien dan efektif.
2. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
3. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism).
4. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah
 ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil  alih tugas dan 
wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (superbody) yang sedang
 dilaksanakan oleh kepolisian dan atau kejaksaan.
   Selain itu, dalam upaya pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi 
telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara 
lain :
1. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan 
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang 
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang 
memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas 
pembuktian terbalik.
2. Ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat 
melakukan tugas penyelidikan,  penyidikan dan penuntutan terhadap 
penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya 
selaku pejabat negara
3. Ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi 
kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden 
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan 
Badan Pemeriksa Keuangan.
4. Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap anggota 
komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan 
korupsi, dan
5. Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada anggota Komisi 
Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
    Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat 
independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari 
kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 
lima orang yang merangkap sebagai anggota dan semuanya adalah pejabat 
negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur 
masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat 
terhadap Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan 
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi 
tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi 
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan
 dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi 
persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and 
proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik 
Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.
    Disamping itu untuk menjamin penguatan pelaksanaan tugas dan 
wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasehat
 yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan 
nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang 
mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi 
Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga 
memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam 
aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan 
Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan 
secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan 
Korupsi yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan tindak pidana 
korupsi, maka perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi 
Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan 
jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Komisi 
Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan 
penuntutan,  Komisi Pemberantasan Korupsi disamping mengikuti hukum 
acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan 
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam undang-undang ini dimuat
 hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di 
samping itu, untuk meningkatkan efisienso dan efektivitas penegakan 
hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam undang-undang ini 
diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di 
lingkungan peradilan tindak pidana korupsi  di lingkungan peradilan 
umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri 
Jakarta Pusat.
  Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang 
memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh 
majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 
(tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dan proses pemeriksaan baik di 
tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim 
yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. 
Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan
 jangka waktu secara tegas.
Blogingria adalah sebuah blog pribadi yang ditujukan khusus dalam masalah yang ada dalam kuliah hukum dan seputaran hukum yang ada di sekitar kita. Semoga tulisan yang ada bermanfaat bagi pembaca dan khususnya penulis sendiri.
Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com
Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com



 Time in Jakarta 
0 komentar:
Posting Komentar