">

Materi tindak pidana korupsi

Sabtu, 10 Desember 2011

| | |
TINDAK PIDANA KORUPSI
“Power tend to corrupt and absolut power corrupts absolutely”
Pengantar
Mengawali tulisan perihal kurupsi, ungkapan usang yang dikemukakan oleh Lord Action bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut senagaja dikutip untuk mengingatkan bahwa kekuasaan sangat rentan terhadap korupsi. Bahkan empat tipe korupsi yang dikemukakan oleh Piers Beirne dan James Messerschmidt semuanya berkaitan erat dengan kekuasaan. Keempat tipe tersebut adalah :
a. Political bribery
Termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai badan pembentuk undang – undang, secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.
b. Political kicback
Kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak – pihak yang bersangkutan.
c. Election fraud,
Korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.
d. Corrupt campaign practices
Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.
Terlepas dari rentannya kekuasaan terhadap korupsi, saat ini ketika memasuki abad ke-21 visi masyarakat internasional termasuk Indonesia terdapat kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan praktek – praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7 11 September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 negara.
Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration of 8 th International Conference against corruption diyakini bahwa korupsi mengerori tatanan moral masyarakat., mengingkari hak – hak sosial dan ekonomi dari kalangan kurang mampu dan lemah. Demikian pula korupsi dianggap menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum yang merupakan dasar dari setiap masyarakat, memundurkan pembangunan dan menjauhkan masyarakat dari manfaat persaingan bebas dan terbuka, khususnya bagi kalangan kurang mampu.
Konferensi tersebut juga mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah urusan setiap orang dari setiap masyarakat. Memerangi korupsi mencakup pula mempertahankan dan memperkuat nilai – nilai etika dalam semua masyarakat. Karena itu sangat penting untuk menumbuhkan kerjasama diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak usaha swasta. Peran dari masyarakat sipil adalah untuk menghilangkan resistensi yang muncul dari pihak – pihak yang menyukai status quo dan untuk memobilisasi masyarakat umum untuk melakukan reformasi guna memberantas korupsi.
Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The Negotiation Of The United Nation Conventions Against Corruption sejak tanggal 1 Oktober 2003 lebih kurang 107 negara telah menyetujui korupsi sebagai transnational crime. Indonesia termasuk salah satu negara yang telah menyetujui Convention Against Corruption yang diselenggarakan di Wina tersebut. Ulasan selanjutnya akan membahas pengertian korupsi dan perkembangan peraturan yang menyangkut pemberantasan korupsi sejak tahun 1957.
Pengertian Korupsi
Dilihat dari segi peristilahan, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa du Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis corruption, dan Belanda corruptie (korruptie). Dapat diduga istlah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia “korupsi”.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary: corruption (L. Corruptio (n-) The act of corrupting or the state of being corrupt;putrefactive decomposition. Putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceeding, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from of a word”.
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam kamus Umum Bahasa Indonesia “ Korupsi adalahperbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia tidak dugunakan kata korupsi melainkan kata peraturan “ anti kerakusan”. Sering pula malaysia menggunakan istilah resuab yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswab). Menurut kamu Arab-Indonesia riswab artinya sama dengan korupsi. Dengan pengertian korupsi secara harafiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologi misalnya, seperti hal yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif, begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi syarat untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum pidana.
Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan ekonomi yang mengutip pendapat Smith sebagai berikut.
Of the whole corruption in Indonesia appears to present more of a recurring political problem than a economic one. It undermines the legitimacy of the government in the eyes of the young, educated elite and most civil servant. Corruption reduces support for the government among eliles at the province and regency level. (Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimana generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten).
Meluasnya kejahatan korupsi di Indonesia telah terjadi sejak orde lama dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari latar belakang munculnya beberapa peraturan tentang pemberantasan korupsi. Setelah KUHP dirasakan tidak mampu lagi menjerat pelaku kejahatan korupsi, peraturan perundangan yang menjadi dasar penanggulangan kejahatan ini telah silih berganti. Upaya perbaikan yang menyangkut perumusan delik, perluasan perbuatan, perluasan subyek delik, maupun hukum acara agar mampu menjangkau pelaku korupsi telah dilakukan.
Peraturan Penguasa Perang Pusat
Pada tanggal 14 Maret 1957 seluruh wilayah Indonesia termasuk semua perairan teritorialnya dinyatakan dalam keadaan darurat perang (Staat Oorlog van Beleg) melalui Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 1957. selanjutnya pada tanggal 17 Desember 1957 dengan Keputusan Presiden Nomor 225 Tahun 1957 keadaan perang tersebut dicabut kembali dan seketika itu pula dinyatakan dalam keadaan perang. Dengan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957 ternyata Keputusan presiden Nomor 225 Tahun 1957 disahkan oleh DPR, sehingga dengan demikian keadaan perang diseluruh wilayah Republik Indonesia termasuk semua teritorial perairannya itu tetap berlaku sampai satu tahun sejak disahkannya dengan undang-undang (lihat Undang-Undang Nomor 74 1957).
Sehubungan dengan peryantaan keadaan perang telah disahkan menjadi undang-undang, maka penguasa perang seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan. Diantara sekian banyak peraturan yang dibuat oleh penguasa perang tersebut terdapat Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957. dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/011/PM/1957.
Pertimbangan dari peraturan yang pertama diatas (9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957) menyatakan antara lain: Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi dan seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dapat diketahui adanya usaha untuk pertama kali memakai istilah ‘korupsi’ sebagai istilah hukum dan memberi batasan pengertian korupsi sebagai berikut, Perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Dalam kaitan dengan berlakunya Pasal 60 Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan bahaya, ketiga peraturan penguasa militer tersebut diatas menurut hukum pada tanggal 17 April 1958 akan tidak berlaku lagi, maka diganti dengan peraturan pemberantasan Korupsi Prn Penguasa Perang Pusat Nomor Prtl Peperpul 013/1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958 dalam Berita Negara Nomor 40/1958. pertimbangan peraturan ini, khususnya pada butir a dinyatakan, “Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum yang mempergunakan modal dan atau keloggaran-kelanggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuatan pidana, perlu diadakan tambahan berupa peraturan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi.
Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pembuat peraturan masih berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang terdahulu agar lebih efektif dalam memberantas korupsi. Fokus dari peraturan ini adalah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau keloggaran yang lain dari masyarakat. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat pembuatan peraturan itu (sekitar 1957 – 1958) sedang ramai-ramainya pengambilalihan dan pengurusan perusahaan-perusahaan milik Belanda menjadi perusahaan Negara. Dari pertimbangan itu pula dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHP saja tidaklah cukup untuk menampung segala masalah yang timbul berhubungan dengan perbuatan yang merugikan keuangan itu.
Kemudian peraturan tersebut di atas diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut dengan surat keputusan kepala staf Angkatan laut Nomor Z/1/1/7, Tanggal 17 April 1958 (Berita Negara Nomor 42 Tahun 1958). Menarik dari ketentuan peraturan penguasa perang pusat (Angkatan Darat dan Laut) tersebut adalah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada bagian I Pasal 1 yang dijabarkan pada pasal 2 dan pasal 3. dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa perbuatan korupsi terdiri atas perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi lainnya (pasal 1).
Dalam penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perbuatan korupsi pidana adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran – kelonggaran masyarakat.
b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalagunakan jabatan atau kedudukan.
c. Kejahatan – kejahatan tercantum dalam pasal 40 sampai dengan pasal 50 peraturan penguasa perang pusat ini dalam pasal 209, pasal 210, pasal 418, pasal 419 dan pasal 420 KUHP (pasal 2).
Batasan pengertian perbuatan korupsi dalam perkembangan selanjutnya unsur – unsur perbuatan korupsi diambil alih oleh undang – undang yang lahir kemudian sebagai unsur delik dengan perbaikan redaksi serta penambahan delik-delik dari KUHP. Bila ditinjau dari apa yang tercantum pada penjelasan sub a tersebut diatas, maka unsur pertama dari korupsi adalah dengan atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan unsur kedua yaitu, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat.
Berdasarkan kedua unsur tersebut, pembuat peraturan tidak menjelaskan kejahatan atau pelanggaran macam apa yang dimaksud. Dengan demikian batasan korupsi menjadi sangat luas yang penting adalah membawa akibat memperkaya diri dan seterusnya.
Sementara yang dimaksud dengan korupsi pidana oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dijelaskan dalam Pasal 3 sebagai berikut:
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Berdasarkan pasal tersebut, yang menjadi pertanyaan penting ialah apakah yang dimaksud oleh pembuat peraturan dengan perkataan melawan hukum. Apakah ini terjemahan dari istilah onrechmating menurut hukum perdata ataukah wederreshtelijk menurut hukum pidana? Apabila melawan hukum sebagai terjemahan dari onrechmatige, maka disitu dianggap sebagai perbuatan perdata, bukan sebagai perbuatan pidana. Namun demikian unsur melawan hukum tidak dimaksudkan sebagai inrechtmating, tetapi memiliki pengertian formal wederrechtelijk dan materiaal wederrechtelijk.
Perlu dijelaskan bahwa melawan hukum adalah salah satu unsur mutlak dari perbuatan pidana. Biasanya unsur tersebut tidak perlu dinyatakan secara eksplisit dalam suatu rumusan delik. Apabila kata melawan hukum dimasukkan dalam rumusan delik, maka konsekuensinya unsur tersebut harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan. Kata melawan hukum yang terdapat dalam suatu rumusan delik memberikan makna melawan hukum khusus. Selain melawan hukum khusus, kata melawan hukum mempunyai tiga makna lainnya. Pertama, melawan hukum umum dalam pengertian melawan hukum sebagai elemen atau unsur perbuatan pidana. Kedua, melawan hukum formal dan yang ketiga adalah melawan hukum material sebagaimana tersebut diatas.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tentang pemberantasan korupsi hanya bersifat darurat, temporer dan berlandaskan pada undang-undang Keadaan Bahaya. Dalam keadaan normal peraturan itu perlu dicabut dan jika masih dibutuhkan adanya peraturan tindak pidana korupsi sebagai bagian dari hukum pidana khusus, perlu disusun dalam bentuk suatu undang-undang. Undang-undang yang dimaksudkan adalah Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 tentang Pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Pada awalnya, Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang sudah ada sebelum Tanggal 1 Januari 1961 menjadi Undang-Undang.
Definisi perbuatan pidana korupsi menurut undang-undang tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 menyatakan: Pertana, Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Kedua, Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Ketiga, Kejahatan tercantum dalam Pasal 17 dan Pasal 21 Peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Apabila dicermati, rumusan delik dalam Undang-Undang Nomor 24 (PRP) 1960 tidak banyak berbeda dengan peraturan penguasa perang tersebut diatas. Perumusan perbuatan korupsi pidana pasal 1 sub a (pertama) ternyata hanya mengambil alih peraturan sebelumnya dengan redaksi yang sepenuhnya sama, hanya saja perbuatan diganti dengan kata tindakan, karena undang-undang tersebut memakai istilah “tindak pidana” bukan “perbuatan pidana”. Kemudian rumusan langsung atau tidak langsung merugiukan keuangan negara dan seterusnya diganti dengan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
Pada sub c (ketiga) ditunjuk kejahatan yang tercantum dalam pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat, dan Pasal-Pasal KUHP yang dimaksud adalah pasal 209, 210, 418 dan 420 KUHP. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan penyuapan baik yang aktif (active amkoping), maupun yang pasif (passive omkoping). Kejahatan yang dipandang korupsi tetapi tidak dimasukkan dalam undang-undang tersebut adalah pasal 415 KUHP tetang penggelapan oleh pegawai negeri. Mungkin pembuat peraturan tersebut memandang bahwa kejahatan seperti itu sudah terangkum dalam sub a, seperti telaj diuraikan di depan. Penggelapan oleh pegawai negeri termasuk kejahatan yang sudah barang tentu merugikan keuangan atau perekonomin negara. Permasalahannya apakah orang itu memperkaya diri atau orang lain atau suatu badan dengan perbuatan penggelapan itu.
Perumusan sub c (ketiga) ini pun tercantum dalam Undang-Undang (PRP) Nomor 24 tahun 1960, dengan mengganti pasal 40 sampai 50 peraturan Penguasa Perang Pusat menjadi pasal 17 dan 21, sesuai dengan apa yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dimasukkan pasal-pasal KUHP yang bertalian dengan suap menyuap dan diperluas, sehingga meliputi pula pasal-pasal 1415, 416, 417, 423, 425, 435 KUHP.
Memang ini menjadi kekurangan Peraturan Penguasa Perang Pusat karena penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi disamping masalah suap menyuap (209, 210, 418, 419, dan 420). Demikian pula dengan pasal 423, dan pasal 425 merupakan bentuk extortion yang disebut knevelary.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai ketentuan undang-undang nomor 24 tahun 1960 dalam perkembangannya dirasakan tidak mampu untuk menyelamatkan keuangan dan perekonomian negara. Oleh karena itu perlu diganti dengan undang-undang baru tentang pemberantasan korupsi yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pindana korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam undang-undang nomor 24 tahun 1960 tidak lagi dapat menjerat perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan nasional.
Hal ini diakibatkan unsur tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya suatu kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Jelas hal ini bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Dalam kenyataannya banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, tidak selamanya didahului oleh suatu kejahatan atau pelanggaran. Perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif tidak dapat dipidana berdasarkan undang-undang nomor 24 tahun 1960.
Atas dasar tersebut, undang-undang nomor 24 tahun 1960 kemudian diganti dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 1971. rumusan tindak pidana korupsi menurut undang-undang nomor 3 tahun 1971 mencakup perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan secara melawan hukum yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Rumusan sebagaimana tersebut diatas mensyaratkan bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa. Artinya, bentuk kesalahan disini tidak hanya disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaan berupa patut disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sudah dapat menjerat pelaku. Rumusan seperti ini mudah dalam hal pembuktian. Demikian pula dengan sarana melawan hukum, baik mengandung pengertian melawan hukum formil maupun materil, memudahkan pembuktian perbuatan yang dapat dihukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Jelas sekali bahwa rumusan seperti itu lebih mudah untuk membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi dari pada memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan atau pelanggaran sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang nomor 24 tahun 1960.
Secara tegas perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Momor 3 Tahun 1971 dirumuskan sebagai berikut:
a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Barangsiapa melaukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423 dab 435 KUHP.
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekay pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
f. Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.
Dari rumusan tersebut diatas jelaslah bahwa undang-undang nomor 3 tahun 1971 lebih progresif bila dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Beberapa catatan perihal progresif dari undang-undang tersebut adalah: Pertama, unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa hingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, baik secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kedua, undang-undang tersebut tidak lagi mensyaratkan adanya kejahatan atau pelanggaran seperti undang-undang sebelumnya. Ketiga, terdapat tambahan pasal 387 dan pasal 399 KUHP. Keempat, adanya ancaman pidana terhadap orang yang menerima pemberian atau janji seperti tersebut padal pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Kelima atau yang terakhir adalah percobaan dan permufakatan jahat disamakan dengan pelaku.
Selain itu perlu dicatat bahwa dalam undang-undang tersebut terdapat perluasan pengertian pegawai negeri. Dalam pasal 2, pengertian pegawai negeri meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Latar belakang dicantumkannya perluasan pengertian pegawai negeri adalah karena berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini, orang-orang bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi, dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan negara atau badan yang menerima bantuan dari negara, dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan korupsi atau perbuatan tercela seperti tersebut diatas.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bola salju yang tengah digulirkan pasca runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, salah satunya diantaranya adalah mewujudkan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini sebagai dampak bahwa perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Dampak selanjutnya adalah timbulnya krisis di berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Atas dasar tersebut, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti, karena dirasakan sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi canggihnya modus operansi perbuatan korupsi. Diharapkan undang-undang yang baru mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, (pasal 2).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).
3. Melakukan perbuatan pidana menurut pasal 209, 210, 387, 388, 515, 416, 417, 418, 419, 420, pasal 423, pasal 425, pasal 435 (Pasal 5 s.d 12)
4. Setiap orang yang memberikan hadia atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).
5. Setipa orang yang melanggar ketentuan Undang – Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang – Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang ini (Pasal 14).
6. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidanakan dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.
7. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.
8. Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.
Selain memperluas pengertian perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai korupsi, undang – undang juga menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 4). Meskipun berlebihan penegasan ini penting karena kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur esensial dalam perbuatan pidana korupsi. Dengan ketentuan itu, perbuatan pidana korupsi tidak dihapuskan sekalipun kemudian unsur kerugian negara tidak terbukti di pengadilan, karena telah dikembalikan oleh tersangka.
Dikatakan berlebihan karena prinsip dalam hukum pidana yang dituntut adalah perbuatannya, bukan karena soal adanya kerugian. Walaupun demikian kiranya perlu diberi catatan, apabila pengembalian atas perbuatan yang dinilai sebagai tindak pidana korupsi itu dikembalikan secara suka rela tanpa adanya unsur dari luar sebelum perkara itu diketahui oleh publik atau aparat penegak hukum, maka atas pengembalian secara suka rela tersebut tidak dapat menjadi dasar penuntutan. Terhadap pengembaian secara suka rela sebelum perkara itu diketahui publik atau aparat penegak hukum, seharusnya diperlakukan sebagai sifat melawan hukum dalam fungsi yang negatif.
Adapun pemberatan pidana menurut undang-undang ini selain ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, undang-undang ini juga sebelumnya, undang-undang ini juga memberikan pemberatan terhadap hal-hal sebagai berikut:
a. Terhadap perbuatan pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Ancaman pidanya dapat berupa pidana mati. Adapun yang dimaksudkan dengan keadaan tertentu ialah keadaan dimana negara:
- Ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku
- Terjadi bencana alam nasional
- Pengulangan tindak pidana korupsi dan
- Dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter
b. Apabila oleh undang-undang lain dinyatakan sebagai perbuatan korupsi, maka diberlakukan undang-undang
c. Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama
d. Orang di luar negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku
e. Dilakukan dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
f. Dalam perkara pidana korupsi selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan berupa: pertama, perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Kedua, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam tenggang waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipindana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya yang sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Ketiga, penuntutan seluruh atau sebagai perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Pada tanggal 21 November 2001 melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut, tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Hal ini dikarenakan kejahatan korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Disamping itu juga terdapat perubahan dan tambahan menyangkut rumusan perbuatan maupun ketentuan perihal pembuktian.
Jika bersandar pada Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 beberapa pasal dalam KUHP diambil alih dengan menyebutkan sebagaimana dimaksud dalam KUHP. Akan tetapi dengan undang-undang yang baru langsung disebutkan unsurnya, tanpa menyebut KUHP. Persoalan ini menimbulkan silang pendapat sehubungan dengan adanya asas yang menyatakan apabila terdapat ketentuan yang sama, maka kepada terdakwa harus dikenakan pidana yang paling ringan. Di samping itu berkaitan dengan rumusan perbuatan korupsi, undang-undang juga menambahkan perbuatan gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Gratifikasi adalah perbuatan yang dapat berupa pemberian uang, tiket perjalanan, barang, rabat, komisi, pinjaman penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Adapun perihal pembuktian terdapat perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Akan tetapi menurut undang-undang tersebut, bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data inter change), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan fasimili, dan dari dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau di dengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan lain adalah menyangkut pembuktian terbalik yang bersifat premium remidium dan sekaligus memgandung sifat prevensi khusus. Pembuktian terbalik mengandung arti bahwa terdakwalah yang harus membuktikan di pengadilan bahwa dia tidak melakukan korupsi. Sementara prevensi, khusus ditunjukkan terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi yang sudah akut, dirasakan tidak cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi serta cara-cara yang konvensional. Diperlukan metode dan cara tertentu agar mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara ialah dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luas biasa, sehingga pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Oleh karena itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus. Kewenangan badan khusus tersebut bersifat independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Sebenarnya pembentukan badan khusus tersebut telah diamanatkan oleh pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. badan khusus itu selanjutnya disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya badan ini memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan penegak hukum yang lain seperti POLRI dan Kejaksaaan, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Berdasarkan undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
2. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
3. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism).
4. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan atau kejaksaan.
Selain itu, dalam upaya pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain :
1. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik.
2. Ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat melakukan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara
3. Ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
4. Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap anggota komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi, dan
5. Ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari lima orang yang merangkap sebagai anggota dan semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Disamping itu untuk menjamin penguatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasehat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi disamping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam undang-undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisienso dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam undang-undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dan proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogingria adalah sebuah blog pribadi yang ditujukan khusus dalam masalah yang ada dalam kuliah hukum dan seputaran hukum yang ada di sekitar kita. Semoga tulisan yang ada bermanfaat bagi pembaca dan khususnya penulis sendiri.

Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com