Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Undang-undang No.31 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi, mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan pemberantasan secara efektif setiap bentuk tindak tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Kembali mengenai langkah-langkah menghentikan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme akhir-akhir ini, khususnya korupsi dalam hal penyelesaiannya selalu terbentur pada masalah pembuktian. Permasalahan inilah yang hendak penulis kaji, kaitannya dengan efektif tidaknya sistem pembuktian terbalik yang tertuang dalam rancangan amandemen UU No. 31 Tahun 1999 dalam upaya menaggulangi masalah korupsi di Indonesia serta kendala-kendala yang ada didalam sistem pembuktian tersebut.
Adapun beberapa temuan penulis dalam legal opini ini, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mencetuskan sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof) dalam kasus narkotik dan KKN secara selektif. Bahwa dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam sistem pembuktian terbalik yang bersifat berimbang dan menyeluruh ini akan tertuang dalam Rancangan Amandemen Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dengan sistem pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan korupsi sebab masih ada kelemahan di dalamnya yaitu Pembuktian terbalik juga bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar dasar hukum yang berlaku surut, walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut dapat timbul. Di tunjang dengan kurangnya bukti atau kurang kuatnya bukti yang ada maka akan dapat memudahkan terdakwa lepas dari jerat hukum. Disamping adanya kelemahan-kelemahan tersebut kekurangan efektifan dari sistem pembuktian terbalik ini juga di karenakan adanya kendala-kendala yang ada dalam sistem pembuktian terbalik tersebut, seringkali dimanfaatkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah melakukan korupsi, kurangnya ahli untuk mengasut kasus korupsi, masih banyaknya jumlah hakim dan jaksa yang tidak bersih, kurangnya serta masyarakat.
Dengan demikian, masalah pembuktian memang sangat penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Untuk itu penulis menganggap bahwa masalah pembutian ini benar-benar harus dilakukan secara cermat selain itu yang harus juga diperhatikan adalah perlunya perbaikan-perbaikan dalam upaya penanggulangan korupsi. Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas dan dapat mengganggu pembangunan serta menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang maka untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan
Deskripsi Alternatif :
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Undang-undang No.31 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk
menggantikan Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi, mengantisipasi perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan pemberantasan secara efektif setiap
bentuk tindak tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara pada
khususnya serta masyarakat pada umumnya. Kembali mengenai langkah-langkah
menghentikan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme akhir-akhir ini, khususnya
korupsi dalam hal penyelesaiannya selalu terbentur pada masalah pembuktian.
Permasalahan inilah yang hendak penulis kaji, kaitannya dengan efektif tidaknya
sistem pembuktian terbalik yang tertuang dalam rancangan amandemen UU No. 31
Tahun 1999 dalam upaya menaggulangi masalah korupsi di Indonesia serta
kendala-kendala yang ada didalam sistem pembuktian tersebut. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang. Untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Adapun beberapa temuan penulis dalam legal opini ini, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Mantan Presiden Abdurrahman Wahid mencetuskan sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof) dalam kasus narkotik dan KKN secara selektif. Bahwa dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku. Dalam sistem pembuktian terbalik yang bersifat berimbang dan menyeluruh ini akan tertuang dalam Rancangan Amandemen Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dengan sistem pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan korupsi sebab masih ada kelemahan di dalamnya yaitu Pembuktian terbalik juga bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar dasar hukum yang berlaku surut, walaupun peraturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut dapat timbul. Di tunjang dengan kurangnya bukti atau kurang kuatnya bukti yang ada maka akan dapat memudahkan terdakwa lepas dari jerat hukum. Disamping adanya kelemahan-kelemahan tersebut kekurangan efektifan dari sistem pembuktian terbalik ini juga di karenakan adanya kendala-kendala yang ada dalam sistem pembuktian terbalik tersebut, seringkali dimanfaatkan terdakwa untuk menyatakan bahwa ia tidak bersalah melakukan korupsi, kurangnya ahli untuk mengasut kasus korupsi, masih banyaknya jumlah hakim dan jaksa yang tidak bersih, kurangnya serta masyarakat.
Dengan demikian, masalah pembuktian memang sangat penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Untuk itu penulis menganggap bahwa masalah pembutian ini benar-benar harus dilakukan secara cermat selain itu yang harus juga diperhatikan adalah perlunya perbaikan-perbaikan dalam upaya penanggulangan korupsi. Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas dan dapat mengganggu pembangunan serta menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang maka untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan
Undergraduate Theses from
JIPTUMM / 2002-11-19 05:37:00
Oleh : RM. AROBBI RAHMAT ZONEIJDHI (98400071), Dept. of Law
Keyword : PEMBERANTASAN, KORUPSI, PEMBUKTIAN TERBALIK
0 komentar:
Posting Komentar