Bingung mau tulis paan. tapi enakan bagi2 ilmu buat anak hukum yang lagi bingung juga buat makalah.
Ni aQ mau posting tentang makalah "hukum pajak"
moga bermanfaat....
^_^
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmad dan karunianya kepada penulis, sehingga penulis beserta bisa menyusun makalah ini dengan judul ”pajak daerah”.
Sholawat dan salam kita hadiahkan ke arwah Nabi besar Muhammad SAW, seorang pemimpin sejati, suri tauladan yang baik bagi semua umat, yang telah membawa kita ke zaman modern yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini.
Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat serta memberikan sumbangan pengetahuan bagi semua pihak yang tertarik dan ingin mengetahui tentang permasalahan kelautan Indonesia. Makalah ini juga diharapkan bisa menjadi penambah literatur (daftar bacaan) khususnya bagi mahasiswa fakultas hukum yang mengambil mata kuliah hukum pajak.
Namun demikian, penulis beserta kelompok menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis beserta kelompok mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, bersama ini penulis mempersembahkan makalah dengan judul ” pajak daerah” kehadapan para pembaca sekalian.
Padang, ... November 20..
Penulis
I. PENDAHULUAN
Pajak adalah satu komponen pendapatan yang sangat penting bagi perkembangan dan pembangunan bangsa. Di sini pajak digunakan untuk pembiayaan pembangunan dan untuk diberikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk subsidi.
Berdasar kenyataan tersebut maka pemerintah berusaha untuk mengatur/menetapkan besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat melalui departemen dalam negeri.
Pada era reformasi ini negara Indonesia telah mengubah sistem perpajakan yang ada di Indonesia, yaitu sistem yang dulunya terpusat berlaih ke sistem pemungutan pajak daerah. Dan pemerintah pusat hanya menerima beberapa prosent dari total pendapatan pajak yang diperoleh dari daerah atau sering dikenal dengan istilah otonomi daerah.
Di sini pemerintah daerah baik tingkat I/tingkat II membuat rumusan besarnya tarif pajak yang dikenakan kepada masyarakat. Akan tetapi harus melalui persetujuan dari departemen dalam negeri. Departemen dalam negeri berhak menerima/menolak rumusan pajak daerah tersebut sesuai dengan kebutuhan.
II. PENTINGNYA PAJAK DAERAH
Propinsi hanya memiliki 2 macam pajak yang berarti. Keduanya pajak diatas kendaraan bermotor. Selain itu sebagian besar propinsi di Indonesia juga memiliki pula beberapa jenis pajak kecil berdasarkan pada ketentuan dari masing-masing daerah/propinsi tersebut. Pada tahun 1983/1984, pajak propinsi menghasilkan sekitar kurang lebih Rp 298.000.000.000,00. Dan dari 298 milyar tersebut 90% diantaranya berasal dari pajak kendaraan bermotor. Dan ini berarti hampir tiga perempat dari penerimaan total daerah itu sendiri. Dan sekitar 15% dari penerimaan total propinsi termasuk bantuan ari pemerintah pusat.
Penerimaan pajak pada umumnya meningkat sebesar 22% untuk tiap tahunnya selama selang waktu 1979/1980 – 1983/1984. Akan tetapi kenaikan proporsi pajak ini masih kalah jika dibandingkan dengan proporsi bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah tingkat I/propinsi.
Kabupaten dan daerah tingkat II memiliki berbagai macam pajak daerah. Apabila dihitung seluruhnya bisa mencapai ± 50 jenis. Akan tetapi di sini pemerintah daerah tingkat II hanya memungut pajak daerah yang jenisnya dan jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan banyaknya jenis pajak yang sesungguhnya. Pemerintah daerah tingkat II (kabupaten) hanya mengambil sekitar 8 sampai 12 jenis pajak daerah. Sebagian besar dari jumlah pajak yang ditarik oleh pemerintah. Dati II ini berdasar pada aturan yang ditetapkan oleh peraturan daerah, meskipun banyak juga yang berdasarkan penyerahan pajak nasional daerah tahun 1950-an. Segala bentuk peraturan mengenai pajak, baik itu daerah tingkat I ataupun daerah tingkat II itu harus melalui persetujuan dari departemen dalam negeri. Dan dalam hal ini departemen dalam negeri berhak menilai apakah pajak itu cocok ayau tidak, baik atau buruk jika dikenakan pada penduduk daerah itu. Apabila pajak itu dirasa perlu maka departemen dalam negeri mengambil langkah selanjutnya. Dan perlu diingat pula bahwa di sini yang menetapkan besarnya proporsi/tarif pajak adalah pemerintah melalui departemen dalam negeri. Pada tahun 1984 departemen dalam negeri, dengan sebuah keputusan, menyatakan beberapa jenis pajak daerah atas barang eksport tidak syah, seangkan beberapa jenis pajak daerah (pajak rumah tangga, pajak jalan) dihapuskan diganti dengan adanya pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun 1985.
Untuk daerah tingkat II (kabupaten), penerimaan atas pajak berjumlah sekitar Rp 40.000.000.000,00 pada tahun 1983/1984. Ini berarti dapat diartikan kurang dari satu per empat dari penerimaan total dari daerah itu sendiri dan jumlahnya hanya sekitar 23% dari penerimaan total dari daerah tingkat II. Dan itu juga termasuk semua bantuan yang diberikan oleh pemerintah ditambah dengan pinjaman dari daerah lain.
Dari sekitar 50 macam pajak seperti yang telah disebutkan di atas, 2 pajak terbesar selain pajak kendaraan bermotor ini, pajak tontonan dan pajak hotel/restoran menghasilkan 58% ari mtotal pendapatan dari pajak (untuk daerah tingkat II). Dan ada 5 jenis pajak lainnya yang menghasilkan pendapatan pajak daerah tingkat II. Tetapi angka 27% ini hanya rata-rata saja, dan sangat berbeda untuk daerah tingkat II yang satu dengan lainnya.
Penerimaan pqjqk untuk daerah ini rata-rata meningkat sebesar 15,2% untuk setiap tahunnya. Pada 1979/1980 – 1983/1984, dan ini berarti berada di atas sedikit laju inflasi untuk tahun yang sama. Akan tetapi masih jauh di bawah apabila dibandingkan dengan bantuan yang diberikan pemerintah pusat (22% setahun).
Dari angka-angka di atas dapatlah kita ketahui bahwa terjadi perbedaan yang sangat mencolok jika dibandingkan dengan penerimaan pajak yang diperoleh masional yaitu sebesar Rp 14 trilyun dalam tahun yang sama, dan anggaran nasional total sebesar lebih dari 18 trilyun. Jadi jelas bahwa penerimaan pajak Pemda tingkat I apalagi Pemda tingkat II sangat kecil jika dibandingkan dengan pajak yang diterima oleh pemerintah pusat. Dan ini pada biaaasanya akan membawa dampak yang buruk (negatif) bagi kehidupan ekonomi.
III. TUJUAN PERUBAHAN
Terdapat 3 tujuan pokok yang hendak dicapai setiap perubahan pada sistem pajak daerah, yaitu:
1. Menyederhanakan sistem pajak daerah, karena pada umumnya sekarang ini tampaknya memilki “nilai pengganggu” (nuinsance value) yang sangat besar dibandingkan dengan penerimaan yang dihasilkan. Perubahan semacam ini bertujuan menyingkirkan “bobot mati” (deatweight burden) pajak daerah, sesuai dngan berbagai macam perubahan di bidang pajak yang dilakukan pada akhir-akhir ini, dan akan kekhawatiran mengenai “ekonomi biaya tinggi”. Perubahan ini juga bertujuan mewujudkan sistem pajak yang lebih adil.
2. Menaikkan penerimaan dari pajak daerah, agar daerah tidak terlalu banyak bergantung pada bantuan dari pemerintah pusat. Dalam hal ini sekarang dirasa amatlah sangat penting, karena penerimaan pemerintah pusat dari eksport minyak sudah berkurang. Akan tetapi menaikkan pajak (penerimaan) bukanlah hal yang gampang segampang menaikkan bendera.
· Tujuan pertama yang harus dihapus banyak jenis pajak daerah
· Hampir semua lahan subur dikuasai pemerintah
Namun demikian, mungkin ada peluang untuk menaikkan penerimaan dari jenis-jenis tertentu dari pajak daerah dan menyerahkan wewenang sumber pajak baru kepada pemerintah daerah.
3. Perubahan sistem pajak juga mungkin ada yang menyangkut pemerintah daerah. Sekarang ini pemerintah daerah (setidaknya dalam teori) memilki wewenang yang sangat luas untuk menetapkan tarif pajak jika dibandingkan tahun 1980-an. Walaupun demikian pemerintah masih harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat melalui departemen dalam negeri yang menetapkannya.
Akan tetapi mesti hanya sebagian saja pajak yang ditarik tetapi dalam kenyataan hampir tidak ada lagi objek pajak bernilai yang tidak dikenakan pajak oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Karena dalam praktek departemen dalam negeri menetapkan tarif pajak untuk daerah maka sesungguhnya wewenang pemerintah daerah adalah sangat kecil. Dan juga dalam prakteknya, dati II barangkali hanya seperempat dari pendapatan daerah tingkat I.
Apabila “otonomi daerah” yang nyata benar-benar terwujud, amka itu akan menambah penghasilan pemerintah daerah setempat dan tetunya juga akan membaaawa dampak yang kurang baik bagi pemerintah pusat, karena hasil pajak akan beralih ke daerah masing-masing dan hanya sebagian saja yang akan disetorkan ke perintah pusat.
IV. TOLAK UKUR UNTUK MENILAI PAJAK DAERAH
Untuk menilai berbagai pajak daerah yang ada sekarang ini, penulis akan mengadakan serangkaian ukuran di bawah ini:
· Hasil (yield)
- Memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitan dengan beerbagai macam layanan yang dibiayai oleh pemerintah yang menarik pajak tersebut.
- Stabilitaas mudah tidaknya memperkirakan hasil itu.
- Elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan sebagainya.
- Perbandingan hasil pajak dengan biaya yang dipungut.
· Keadilan (equity)
- Dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang-wenang.
- Pajak bersangkutan harus adil secara horisontal.
Artinya : beban pajak haruslah sama benar dengan antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama.
- Harus adil secara vertikal
Artinya: kelompok yang memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar memberikan sumbangan yang lebih besar daripada kelompok yang tidak memiliki sumber daya ekonomi.
- Harus adil dari tempat ke tempat dalam arti tidak ada perbedaan dalam arti sewenang-wenangan kepada wajib pajak dalam hal wajib pajak dari satu daerah ke daerah lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam cara menyediakan layanan masyarakat.
V. GAMBARAN/DISKRIPSI TENTANG PAJAK DAERAH
Subjek Pajak
Pajak Bumi dan bangunan (PBB) membawa beberapa perubahan dasar pada sistem pajak yang ada di Indonesia.
· PBB menyederhanakan sistem pajak sebelumnya : berbagai jenis pajak tanah diajadikan satu dan hanya ada satu tarif untuk semua tanah.PBB menggantikan 7 undang-undang pajak, termasuk IPEDA, pajak kekayaan dan pajak rumah tangga.
· PBB memperluas daasar pajak, dengan mengurangi pengecualian dan dengan mengubah daasar pajak dari nilai semua perkiraan ke nilai jual. Pada tarif sebesar 0,5% dan nilai kena pajak rasio sebesar 20%, tarif efektif adalah 0,1% dari nilai jual total tanah dan bangunan. PBB menghapus keringanan pajak untuk tanah rumah tinggal dan tarif pajak progresif untuk tanah pedesaan.
· PBB mengurangi bias keadilan dengan mengandalkan harga pasar dan dengan menetapkan nilai tidak kena pajak Rp 2.000.000/bangunan. Nilai tidak kena pajak Rp 2.000.000 ini berarti PBB tidak mencakup sebagian besar rumah pedesaan dan rumah kumuh di pinggiran kota, dan karena itu memberikan unsur progresif walaupin sangat kecil pada susunan pajak secara keseluruhan.
· PBB menetapkan waktu dan sanksi yang jelas agar pendaftaran tanah dan pembayaran pajak tepat waktu. Di sini pemerintah juga menetapkan sanksi yang tegas bila wajib pajak telat dalam hal membayar pajak, dan besarnya ditentukan dengan prosentase tertentu dari besarnya pajak yang terhutang.
Sekarang apda umumnya untuk daerah pedesaan para pernagkat desa mendatangi rumah-rumah penduduk untuk memberikan keterangan berapa besarnya pajak yang hrus dibayarkan oleh wajib pajak (ini hanya berlaku untuk pajak bumi dan bangunan/PBB).
Dasar Pajak, Nilai Kena Pajak dan Besarnya Tarif Pajak
Di bawah pajak tanah dan bangunan yang baru ini, daaasar pajak berubah dari nilai sewa (hasil) per tahun menjadi nilai jual tanah jual dan bangunan. Nilai jual ini diperoleh dari nilai jual sebenarnya tanah bersangkutan (yaitu transaksi pasar) dan diterapkan pada semua sektor (kota, desa, pertambangan, perkebunan dan kehutanan).
Manfaat dari penggunaan nilai jual menurut harga pasar ini sebagian dasar pajak:
· Perkembangan nilai tanah ini diperhitungkan karena perkiraan mengenai sewa di masa datang biasanya dikaitkan pada nilai jual tanah, nilai jual tanah merupakan pemikiran yang blebih mendekati kenyataan mengenai nilai ekonomi dan kemampuan tanah dibebani pajak daripada sewa.
· Tidak perlu lagi ada pajak terpisah untuk tanah kosong. Artinya: nilai jual tanah mencakup, baik nilai sewa sekarang maupun nilai tanah bila dikembangkan, tidak ada perlunya lagi menentukan pajak terpisah untuk tanah kosong. Hasil pajak dari tanah kosong akan lebih tinggi atas dasar nilai jual dari pada atas dasar nilai sewa. Pajak yang lebih tinggi ini akan menyebabkan harga mahal. Dan tanah dibiarkan kosong saja untuk tujuan spekulasi, dan merangsang pengemabangan tanah kosong.
· Nilai jual tanah akan memungkinkan dasar pajak tanah seiring dengan naiknya harga jual tanah. Karena nilai sewa tanah ditetapkan jauh di masa lampau, nilai sewa sebagai dasar pajak mungkin tidak banyak mencerminkan kenaikan milai-nilai jual tanah akibat perkembangan kota, karena itu, biasanya lebih menguntungkan bagi negara sedang berkembang menggunakan nilai jual tanah daripada nilai sewa tanah sebagai dasar pajak (Nicks,1961).
VI. KESIMPULAN
Setelah membaca kutipan di depan mengenai pajak daerah baik untuk daerah tingkat I (Dati I) ataupun (Dati II) terutama dalam penarikan dan besarnya tarif pajak (prosentase) yang ditetapkan pemerintah, diharapkan pemerintah dapat menyikapi terhadap arti penting penarikan pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Dan pajak itu jugas berguna bagi masyarakat itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui bahwa kesadaran penduduk baik itu kota maupun desa masih sangat rendah.
Dengan makalah ini penulis mengharapkan yang membaca makalah ini tergugah hatinya akan membayar pajak untuk pembangunan masyarakat itu sendiri dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
VII. DAFTAR PUSTAKA
- Moedjiono Kartoprariyono, “Sanksi Perpajakan dan Penerapannya”.
- Nicks Dexas, “keuangan Pemerintahan Daerah di Indonesia”.
- Mardiasmo, Akt, “Perpajakan”.
0 komentar:
Posting Komentar