">

Hukum Perlindungan Konsumen

Minggu, 30 September 2012

| | |

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Pada tahun 1999 telah lahir Undang-Undang perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada konsumen. dalam undang undang ini juga di jelaskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini di atur untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian memang perlu di atur karena untuk menghindari sikap negatuf pelaku usaha terhadap konsumen.
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen atau pelaku usaha tersebut.Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memanag telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. contohnya adalah, Makanan kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan produk-produk kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi ditumbuhi jamur dan bakteri yang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
Peristiwa peristiwa seperti itu tentunya sangat merugikan konsumen, maka seharusnya pelaku usaha bertanggung jawab dengan kejadian tersebut sebagai implementasi dari undang undang nomor 8 tahun 1999. Untuk memperjelas masalah akan tanggung jawab pelaku usaha maka makalah ini akan membahas mengenai masalah tanggung jawab pelaku usaha tersebut.


B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
a.       Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha pada kasus Klausula Baku Perlindungan Konsumen Parkir dan Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
b.      Apakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap kasus telah terlaksana dengan baik atau belum ?


C.     Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a.       Untuk mengetahui Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha pada kasus Klausula Baku Perlindungan Konsumen Parkir dan Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil ;
b.      Untuk mengetahui apakah tanggung jawab pelaku usaha ;
c.       Untuk mengetahui kasus mengenai perlindungan konsumen dan analisis hukumnya.

D.    Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
a.       Agar kita bisa lebih mengetahui apa tanggunng jawab pelaku usaha terhadap konsumen ;
b.      Agar kita bisa mengetahui apakah tanggung jawab pelaku usaha telah terlaksana dengan baik atau belum;
c.       Agar kita bisa mengetahui kasus mengenai perlindungan konsumen dan analisis hukumnya

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tinjaun Pustaka

1.      Pengertian Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 1 ayat 3, pelaku usaha adalah. setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
2.      Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam UU perlindungan konsumen pasal 19 yaitu :
UU No.8 tahun 1999 Pasal 19,
1).  Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2).  Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3).  Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4).  Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5).  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Inti dari pasal di atas adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Seperti yang di sebutkan pada pasal 19 ayat 1, Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Berdasarkan ayat 2 pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.


B.     Contoh Kasus Dan Analisis Hukumnya

Kasus 1
“Klausula Baku Perlindungan Konsumen Parkir”
Bayangkan bila suatu saat anda memarkir kendaraan anda di lokasi parkir yang resmi dan berkarcis, kemudian saat anda hendak meninggalkan lokasi, ternyata kendaraan anda lenyap tak berbekas. Padahal karcis, kunci dan STNK masih di tangan anda. Tindakan apakah pengelola yang akan anda lakukan? Melapor ke pengelola parkir tentunya. Kemudian pihak pengelola parkir akan menampung laporan anda dan membuatkan Surat Tanda Bukti Lapor (STBL).
Sayangnya, bila anda tidak ngotot memperjuangkan hak anda, besar kemungkinan laporan anda akan berakhir dengan pernyataan pelepasan tanggung jawab oleh pihak parkir. Dasar yang mereka pakai biasanya adalah klausula yang tercantum dalam (hampir semua) karcis parkir resmi. Klausula itu umumnya berbunyi ”pengelola parkir tidak bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan atau kehilangan kendaraan berikut isinya”.
Ironisnya, klausula baku di bidang perparkiran ternyata dilegalkan Pemprov DKI Jakarta melalui Perda No 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. Pasal 36 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 menyatakan: “Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di dalam petak parkir merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir“.Lantas, apa yang harus dilakukan?bagaimana kaitan hal tersebut dengan dengan undang undang perlindunhan konsumen?

Analisis kasus 1

Hubungan antara pemilik kendaraan yang diparkir dengan pihak pengelola parkir sesungguhnya adalah hubungan antara konsumen dengan produsen (jasa). Konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) pasal 1 butir 2 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus disetujui dan diikuti oleh konsumen.
Syarat sepihak ini dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”. Bisnis perparkiran sendiri sebenarnya adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi pengelolanya. Karena itu jaminan perlindungan hukum kepada konsumen parkir harus lebih diseimbangkan.
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 UUPK yang menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sesungguhnya pencantuman klausula baku ini telah dilarang oleh UUPK. Mengenai larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, di antaranya apabila klausula tersebut menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha dan menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dalam penjelasan UUPK dinyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak, di satu sisi, memang seolah-olah mengesahkan keberadaan klausula baku tersebut.
Selama para pihak yang terlibat setuju-setuju saja maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun di sisi lain asas kebebasan berkontrak tidaklah adil bila diterapkan pada dua pihak yang memiliki posisi tawar yang tidak seimbang.
Dalam kasus ini kedudukan konsumen memang lebih rendah jika d bandingkan pelaku usaha yang seharusnya adalah tidak demikian. Dalam pasal 9 ayat 1 UUPK jelas di sebutkan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jadi dalam kasus ini undang undang yang ada tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi.

Kasus 2

Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu berusia 32 tahun, yang semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional, namun pelayananannya tidak memuaskannya, karena hasil lab yang memaksanya rawat inap itu tidak dapat dia peroleh. Maka dia curhat ke teman-temannya melalui email, sayang email ini kemudian bocor ke publik melalui milis, dan si ibu Prita ini lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik (“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”) yang dalam pasal 45 UU tersebut diancam dengan penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah. Karena ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung ditahan hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi perhatian publik, bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.
Si ibu yang malang ini semula hanya ingin mengadukan nasibnya sebagai pasien, konsumen layanan medis. Jutaan pasien di negeri ini dalam posisi lemah terhadap dokter dan rumah sakit yang jarang proaktif memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, apalagi pilihan tentang jenis obat atau tindakan yang diperlukan pasien. Pasien hanya sekedar menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak dan bisa diajak kerjasama memulihkan kesehatannya. Perlakuan dokter atau rumah sakit ini makin menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta. Dengan alasan memberi layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan, sekalipun mungkin tidak dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka panjang bisa merusak organ vital pasien.
Ketika pasien diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan mengadu? Meski ada UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak masyarakat yang tahu keberadaannya. Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana saja pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke media massa atau email ke dunia maya. Ini terjadi karena BPKN hanya bertindak setelah ada pengaduan langsung kepadanya. BPKN tidak diwajibkan bertindak proaktif dengan memonitor dunia perdagangan, sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.
Masalahnya, begitu menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini dapat dengan mudah dibalikkan oleh yang merasa lebih kuat (yaitu produsen) dengan tuduhan pencemaran nama baik. Polisi, Jaksa ataupun Hakim yang menangani pun bisa bertindak tidak profesional, baik karena alasan keyakinan tertentu (yang mungkin mitos), alasan politis maupun alasan kepentingan lain yang terkait dengan pihak yang lebih kuat itu. Maka sang konsumen yang malang tadi tertimpa tangga dua kali: diperlakukan tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu didzalimi oleh alat negara ketika mencari keadilan.

Analisis kasus 2

Dalam kasus prita mulya sari di atas,terlihat jelas bahwa lagi lagi kekuatan konsumen lebih lemah jika di bandingkan dangan kekuatan produsen. Dalam kasus ini, prita sebenarnya telah di rugikan oleh produsen (pelaku usaha) pelayan medis.karena dalam kasus ini prita mulya sari juga merupakan sebagai konsumen,sesuai dengan pengertian konsumen pada pasal 1 angka 2 “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Dan pihak rumah sakit adalah merupakan produse (pelaku usaha) sesuai dengan pengertian pelaku usaha pada pasal 1 ayat 3 UUPK “ Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Jadi seharusnya prita mendapat perlindungan sebagai konsumen jika di kaitkan dengan UUPK. Sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 19 UUPK tentang kewajiban pelaku usaha bukan masalah sebaliknya pelaku usaha dalam hal ini rumah sakit malah menuntut prita. Jadi jelas bahwa UUPK ini belum bisa sejalan dengan kenyataan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      UU No.8 tahun 1999 Pasal 19, tanggung jawab pelaku usaha:
a.       Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
b.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.       Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d.      Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
e.       Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
2.      Berdasarkan pembahasan diatas maka kami menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah,dalam pelaksanaannya Undang-Undang perlindungan konsumen di Indonesia saat ini harus lebih di tegakkan lagi agar tujuan dari pada undang undang itu sendiri dapat terlaksana dengan baik.sehingga undang undang ini betul betul dapat menengkat harkat dan mmartabat konsumen serta dapat memberikan kepastian hukum yang jelas.


DAFTAR PUSTAKA
·         Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Dalam Seminar Nasional : Antisipasi Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Horison Hotel, Bandung. 8 April 2000.
·         Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

1 komentar:

nisty mengatakan...

terimakasih artikelnya lumayan membantu, maaf bisa tolong kasih referensi gak untuk kasus-kasus kehilangan kendaraan di kota bandung? laagi mepet butuh banget buat revisiann :(

Posting Komentar

Blogingria adalah sebuah blog pribadi yang ditujukan khusus dalam masalah yang ada dalam kuliah hukum dan seputaran hukum yang ada di sekitar kita. Semoga tulisan yang ada bermanfaat bagi pembaca dan khususnya penulis sendiri.

Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com