Pages

Kamis, 04 Oktober 2012

SEJARAH HUKUM PERKAWINAN ISLAM MASA AWAL KEMERDEKAAN

A.    PENDAHULUAN
Sebagai makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada Hukum, apapun nama atau sebutannya yang mengatur pergaulan hidup mereka. Masyarakat dan hukum laksana hubungan erat antara ikan dan air yang berbeda tetapi selalu menyatu.
Setiap persekutuan hidup, bagaimanapun modern dan primitifpun, harus berdasar pada jenis tertib. Tidak dapat dibayangkan ada persekutuan hidup yang tidak mengenal semacam ketertiban, dalam hal ini hukum yang mengatur tata hidup mereka. Hukum terdapat dimana saja/di seluruh dunia selama ada manusia bermasyarakat; hanya bentuk daripada hukum itu yang berbeda-beda tergantung pada tingkat peradabannya.
Semua itu membuktikan bahwa hukum sangat berperan bagi kehidupan manusia. Memang seperti disimpulkan L.J. Van Apeldoorn, “Setiap saat hidup kita (manusia) dikuasai hukum. Hukum (inheren di dalamnya hukum Islam) mencampuri urusan manusia sebelum lahir, dan masih mencampurnya setelah ia meninggal. Hukum melindungi benih di kandungan ibu (janin) dan masih menjaga jenazah orang yang telah mati. Contoh konkretnya, janin yang ada dalam rahim ibu yang mengandungnya tidak boleh (haram) digugurkan tanpa ada alasan yang dibenarkan hukum.
Termasuk hukum syari’at yang justru melindungi manusia sejak masih dalam kandungan atau bahkan lebih jauh dari itu sejak dalam “bentuk” sperma (air mani). Pengharaman Zina secara mutlak dalam syari’at Islam mengisyaratkan perlindungan dan sekaligus jaminan hukum terhadap hak-hak asasi manusia.
Perubahan hukum dalam Islam seyogyanya harus berjalan lancar. Alasannya pada satu sisi ada perangkat norma yang bersifat qath’i, sementara pada sisi yang lain ada pula perangkat norma hukum yang bersifat Zhanni. Elastisitas hukum Islam akan semakin terjamin ketika dihubungkan dengan lembaga ijtihad yang sangat dihormati dalam teori maupun prkatek hukum Islam. Termasuk didalamnya melalui institusi fatwa yang sewaktu-waktu bisa berubah karena tuntutan waktu dan tempat (keadaan). Disinilah terletak arti penting dari ungkapan Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, ketika merumuskan suatu kaida:”Fatwa itu dapat berubah disebabkan perubahan zaman dan tempat”.[1]
B.     PEMBAHASAN
a. Perkawinan Menurut Hukum Agama
Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani, yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.[2]
Jadi perkawinan dalam arti ikatan jasmani dan rohani berarti suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja di dunia tetapi juga di akherat, bukan saja lahiriah tetapi batiniyah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam do’a. Sehingga kehidupan dalam keluarga rumah tangga itu rukun damai, dikarenakan suami dan isteri serta anggota keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan tujuan yang sama. Jika perjalanan hidup berumah tangga sejak semula sudah berbeda arah kerohaniaannya walaupun dalam arah kebendaan sama, maka kerukunan duniawi akan datang masanya terancam keluluhan. Oleh karenanya rumah tangga yang baik hendaknya sejak semula sudah dalam satu bahtera hidup yang sama lahir dan batin.
Menurut hukum Islam perkawinan adalah akad (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) oleh calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.
Jadi perkawinan menurut agama islam adalah perikatan antara wali perempuan (calon isteri) dengan calon suami perempuan itu,  bukan perikatan antara seorang pria dengan seorang wanita saja sebagai dimaksud dalam pasal 1 UU no. 1-1974 atau menurut Hukum Kristen. Kata wali berarti bukan saja bapak tetapi juga termasuk datuk , saudara laki-laki, anak-anak laki, saudara bapak yang pria, anak-anak pria dari paman, semuanya dari keturunan pria (patrilinial) yang beragama Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikatan perkawinan dalam Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan perikatan perseorangan.
Menurut Hukum Kristen Katolik perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasr ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.[3]Jadi perkawinan agama Kristen Katolik adalah perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara kedua suami isteri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Allah yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Perkawinan itu adalah sah apabila kedua mempelai sudah dibaptis.[4]
Menurut Hukum Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. Jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah.[5]
Menurut Hukum Perkawinan Budha (HPAB) keputusan Sangha Agung tanggal 1 januari 1977 pasal 1 dikatakan perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri yang berlandaskan Cinta Kasih (metta), Kasih Sayang (Karuna) dan rasa sepenanggungan (Mudita) dengan tujuan untuk membentuk satum keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/ Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Budhisatwa-Mahasatwa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Agama Budha Indonesia.[6]
b. Ragam Hukum Perkawinan.
Dengan Demikian di Indonesia berlaku aneka ragam Hukum Perkawinan, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Hukum pernikahan menurut KUHP perdata tercantum dalam Buku Pertama Bab 4 sampai 11, dan berlaku untuk:
Golongan Eropa, sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 163 I.S. ayat 2, dengan tidak memandang agama yang dipeluknya, pencatatannya diatur dalam Stbl.1849 No. 25 dan dilaksanakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil.
Golongan Timur Asing Cina dengan tidak memandang agama yang dipeluknya, dengan beberapa perubahan yang termuat dalam Stb. 1917 No. 129 yo Stbl. 1924 No. 557, pencatatannya diatur dalam Stlb. 1917 No. 130 yo. Stbl. 1919 No. 81, dilaksanakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil.[7]
2. Hukum Pernikahan Menurut Hukum Adat.
Hukum ini sekarang belum dituangkan dalam bentuk undang dan pernikahan umat Islam. Termasuk ke dalam kelompok Hukum Adat, berlaku untuk:
-          Golongan Indonesia asli beragama Islam.
-          Golongan Timur Asing bukan Cina (Arab, Pakistan, India, dan lain-lain) yang beragama Islam. Pencatatannya diatur dengan UU No. 22/1946 yo Undang-Undang No. 32/1954 dan dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.
-          Golongan Indonesia Asli yang tidak beragama Islam dan bukan umat Masehi yang berdiam fi luar daerah Jawa/Madura , Minahasa dan oneraldeling  Ambonia, Saparua dan Banda, kecuali pulau Teun, Nila dan Serua.[8]
3. Ordonasi Nikah.
Ordonasi Nikah Indonesia Ummat Kristen di Jawa/Madura, Minahasa dan onderafdeling Ambonia, Saparua dan Banda (Stbl.1933 No. 74 diubah dengan Stbl. 1934 No. 1934 No. 621 dan 1936 No. 247). Ordonasi ini berlaku untuk golongan Indonesia asli beragama (Katolik dan Protestan0 di Jawa dan Madura, Minahasa Onderaldeling Ambon, Saparua dan Banda, kecuali pulau-pulau Teun, Nila dan Serua. Pencatatanya diatur dalam Stbl. 1933 No. 75 diubah dengan Stbl. 1933 No. 327, 1934 No.621 dan 1936 No. 247, dilaksanakan oleh Pegawai Catatan Sipil.[9]
4. Peraturan Perkawinan Campuran Stbl. 1898 No. 158, ordonasi ini berlaku untuk semua jenis Perkawinan Campuran.
5. Bersikap Patuh
Bagi Penduduk Indonesia terbuka ketentuan-ketentuan untuk bersdikap patuh pada Hukum Sipil dan Hukum Dagang Eropa seperti yang diatur dalam Stbl. 1917 No. 12 yo. 528, dirubah dan ditambah dengan Srbl. 1926/360, 1931/168 yo. 423, 1932/42, dan 1939/572 yo. 14 dan Bb. 13421. Dengan bersikap patuh pada keseluruhan Hukum perdata yang berlaku untuk orang Eropa. Dengan Demikian mereka patutlah mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil.[10]
c. Hukum Perkawinan Islam Masa Awal Kemerdekaan.
Hukum Perkawinan yang dipakai Umat Islam pada masa awal kemerdekaan adalah:
1.      Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Undang-undang Nomor. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah,talaq dan rujuk ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Nopember 1946, yang terdiri dari 7 pasal, yang isi ringkasnya sebagai berikut:
-          Pasal 1 ayat 1 s/d ayat 6, yang isinya diantaranya; Nikah yang dilakukan umat Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh menteri agam, Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai pencatat Nikah, yang berhak mengadakan pengawasan Nikah, Talak dan Rujuk Pegawai yang ditunjuk Menteri Agama, bila PPN berhalangan dilakukan petugas yang ditunjuk, biaya Nikah, Talak dan Rujuk ditetapkan Menteri Agama.
-          Pasal 2 terdiri dari ayat 1 s/d 3, yang isinya diantaranya, PPN membuat catatan Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan petikan catatan kepada yang berkepentinga.
-          Pasal 3 terdiri dari5 ayat, isinya antaranya; sangsi orang yang melakukan nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah Pengawasan PPN, sangsi orang yang melakukan Nikah, Talak dan Rujuk padahal bukan petugas.
-          Pasal 4, isinya hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran.
-          Pasal 5 isinya peraturan yang perlu untuk menjalankan undang-undang ditetapkan oleh Menteri agama.
-          Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama undang-undang, dan berlaku untuk daerah luar jawa dan madura.
-          Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk jawa dan madura.[11]

2.      Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuka di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.
Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 1954 disahkan pada tanggal 26 Oktober 1954 oleh Presiden Soekarno. Terdiri dari 3 pasal.
-          Pasal 1, Undang-Undang RI tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar jawa dan Madura.
-          Pasal 1 A, Perkataan Biskal- gripir hakim kepolisian yang tersebut dalam pasal 3 ayat 5 UU RI NO. 22 Tahun 1946 diubah menjadi Panitera Pengadilan Negeri.
-          Pasal 2, Peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan apa yang tersebut dalam pasal 1 undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.
-          Pasal 3, Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.[12]
C. KESIMPULAN
            Dari Pemaparan Makalah Sejarah Hukum Perkawinan Islam pada awal Kemerdekaan dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Pengertian Perkawinan menurut agama yang ada di Indonesia, walaupun ada perbedaan dalam definisi namun mempunyai maksud dan tujuan yang sama bahwasannya perkawinan adalah ikatan suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan agama mejadi dasar utama.
  2. Ragam Hukum Perkawinan di Indonesia pada awal Kemerdekaan adalah Undang Hukum Perdata, Hukum pernikahan menurut Hukum Adat, Ordonasi Nikah, Peraturan tentang Nikah Campuran, bersikap patuh.
  3. Hukum perkawinan bagi ummat Islam pada awal kemerdekaan adalah UU No. 22 tahun 1946, UU No. 32 tahun 1954 dan Fiqih Islam.



[1] Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabbil-‘alamin, tt, (Mishr Dar al-Jayl),j.3 hlm. 10.
[2] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 10.
[3] Al. Budyapranata Pr. 1986: hlm. 14.
[4] Kan. 1055: hlm. 2
[5] perhatikan G,Pudja, 1974: 9),
[6] Pasal 2 HPAB.
[7] T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Pt. Mestika , Jakrta. Hlm.35.
[8] Ibid, hlm. 35
[9] Ibid, hlm. 36.
[10] Tentang Lingkungan kuasa-orang dari Peraturan Perkawinan Campuran, Lihat Gouw Giok Siong, b, hlm. 11-160.
[11] Departemen Agama, Pedoman Pencatat Nikah, Jakarta 2003. hlm. 73-77.
[12] Ibid, hlm. 84-86.

Sumber : Entri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar