Pages

Sabtu, 01 September 2012

Kuliah Gengsi atau Kehormatan???


Pada sebuah data yang didapat, pada setiap tahunnya terdapat sekitar 1000 orang lulusan dari perguruan tinggi yang diwisuda. Dan permasalahannya sekarang akan muncul beberapa pertanyaan klasik yang akan tidak asing lagi didengar di telinga kita. Yaitu “kemana ilmu yang didapat itu akan mereka bawa?”
Dari data yang didapat diperkirakan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 300 juta jiwa, 70 persen diantaranya adalah  penduduk diusia pencari kerja. Dan dipastikan mereka akan menyerbu pasar kerja, sehingga sangat menyeramkan bila membayangkan itu semua ditengah kekuatan pertumbuhan ekonomi indonesia yang tidak menentu.
Dari jumlah tersebut 40 persen diantaranya adalah para pencari kerja yang rata-rata adalah tamatan dari perguruan tinggi terkemuka. Selebihnya adalah yang tergolong kepada taraf  kurang terdidik bahkan tidak sempat mengenyam dunia pendidikan.
Mengapa terjadi banyak pengangguran?
Mari kita mulai lihat dari beberapa fenomena yang terjadi pada masyarakat kita saat ini. Masyarakat indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya bermata pencarian sebagai petani. Dilihat dari jumlah dan ketidak menentunya hasil panen, bahkan belum lagi hama yang menyerang tanaman akan mengurangi jumlah dan kualitas dari hasil panen petani kita.
Dan kita kembali pada pembahasan awal, dari hasil panen yang tidak menentu bahkan akan terjadi kegagalan panen. Dari sini akan dapat kita lihat, seandainya jika petani kita gagal panen, dengan apa mereka akan meneruskan kehidupan mereka. Apalagi dengan bahan pokok yang harganya mengila, tentu akan semakin menekan dan mencekik mereka dari sisi ekonomi.
Dan dalam hal ini seandainya mereka mempunyai anak, tentu mereka akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membiayai segala perlengkapan sekolah seperti tas, baju, sepatu, dan lainnya. Ini akan memperdalam tikaman dari penderitaan yang telah mereka alami sebelumnya. Pertanyaannya, bagaimana mereka akan menyekolahkan anak-anak mereka sementara untuk hidup di keesokan hari saja mereka belum tau bagaimana..!?
Dari sini mau tak mau meski ingin, mereka terpaksa mengurungkan dan mengubur dalam-dalam harapan untuk  mengenyam dunia pendidikan. Dan lahirlah para pengangguran cilik yang hanya bisa duduk terpaku melihat teman-teman sebayanya berangkat kesekolah dengan senyum diwajahnya.
Sekarang mari kita lihat pada tingkat yang lebih tinggi. Pada dunia perkuliahan yang memang telah ditujukan dalam kekhusussan karir masing-masing sesuai minat dan kemampuan pada tiap fakultas yang dipilih. Untuk memasukinya saja tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sepeti yang baru-baru ini dilaksanakan tes masuk melalui jalur SNMPTN diseluruh Indonesia. Dan tentu juga akan melahirkan lagi calon bibit pengangguran baru.
Pada fenomena yang tejadi, tidak dapat dipungkiri terjadi kecurangan disana-sininya. Dimulai dari joki saat ujian tes masuk, bahkan kebocoran soal. Yang memungkinkan penghambatan secara tidak lansung dalam mengecam dunia pendidikan di kampus. Padahal kalau kita lihat dari sisi ekonominya, tidak sedikit pengeluaran yang dilakukan pada saat itu. Seperti anak daerah yang pergi tes masuk perguruan tinggi ke kota, bahkan ada juga yang mati-matian ikut pelatihan ini dan itunya seperti lembaga-lembaga Bimbingan Belajar (BIMBEL) yang mana biaya yang dikeluarkan untuk mengikutinya tidak lah sedikit sampai jutaan rupiah, belum untuk biaya kos-kosan untuk anak-anak yang berdomisi jauh dari tempat BIMBEl tersebut.
Fakta mengatakan, ada diantara peserta tes yang hanya pergi dengan bermodal nekat  dengan keinginan mereka saja dan mereka pergi dengan keras hati. Padahal diketahui orang tua mereka telah melarang karena memang tidak ada uang untuk membiayai semua kebutuhan kuliahnya kelak.
Dari sudut pandang kehidupan yang miris ini seharusnya pemerintah tidaklah tinggal diam dalam menyikapi hal ini. Sebagai negara republik seharusnya pemerintah paham kalau masyarakat akan banyak  bergantung kepada keputusan yang akan ditetapkan oleh pemerintah pusat, namun bagaimana kalau pemerintah bersikap acuh tak acuh dengan itu semua??? Karena itu lah dibentuk DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang akan memperjuangkan hak rakyat. Pertanyaan selanjutnya, apa DPR sudah melakukan kewajibannya??? Belum !!DPR hanya melakukan hak tak penting dengan membangun istana sebagi kantor mereka menggunakan miliaran rupiah yang bukan hak mereka namun milik rakyat yaitu APBN.
Bagimana pun, dalam kasus ini pemerintah dan DPR juga bersalah, kalau seandainya mereka serius dalam menangani masalah pendidikan dan pengangguran, tentulah tidak akan banyak pengangguran terdidik yang bingung mencari pekerjaan.
Disisi lain, masalah pengangguran ini juga merupakan kesalahan pengangguran itu sendiri, kenapa? karena mereka seharusnya sadar, dimanapun masih berlaku prinsip hutan yaitu “yang kuat yang akan menang, yang lemah akan kalah”, maksudnya orang-oarang yang berpotensilah yanag akan selamat dalam persaingan dalam mencari kerja, serta orang-orang yang kalah akan tersisihkan dan menjadi pengangguran. Semakin lama persaingan di dunia bisnis dan peluang kerja akan terus meningkat. Jadi, untuk menghindari resiko tersebut, ada beberapa yanag harus dilakukan seseorang sebelum mencari kerja, diantaranya : memahami potensi yang dimilikinya, memprediksi keahlian yang dibutuhkan dan mempelajari probabilitas (kemungkinan) peluang penerimaan.
Penyebab pengangguran terdidik yang terbesar adalah tidak adanya keberanian pada setiap diri sehingga mereka takut untuk membuka lapangan kerja sendiri, dan slalu ingin bergantung pada lowongan kerja yang sudah ada. Padahal kalau seandainya mereka melakukan itu, setidaknya mereka bisa mengurangi pengangguran, dengan mempekerjakan dirinya sendiri. Namun hal itulah yang harus ditumbuhkan dalam setiap diri individu sebelum dia terjun ke dalam persaingan dalam mencari kerja.
Untuk menciptakan hal tersebut, selanjutnya menjadi tugas guru, dosen, serta tenaga pendidik lainnya untuk menumbuhkan sikap berani berwirausaha sejak dini kepada setiap peserta didiknya, agar beberapa tahun kemudian mereka menjadi anak yang matang dalam menghadapi persaingan. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh guru dan pihak sekolah lainnya, contoh konkritnya adalah memberikan mata pelajaran seperti kewirausahaan di dalam kelas, bukan hanya mata pelajaran wajib seperti matematika, IPA, dan IPS saja. Karena tidak hanya itu yang akan mereka butuhkan kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar