">

TINDAK PIDANA KEPABEANAN

Kamis, 15 Desember 2011

| | |

         Sebelumnya terimakasih kepada dosen saya bapak Yoserwan SH, MH yang telah mau memberikan bahan kuliah tentang hukum Pidana ekonomi ini. Walaupun jujur saja saya kurang minat dalam hal bidang ke Pidanaan (Karena minat saya adalah Ke Perdataan... hehehe...), tapi karena hari ini ada ujian HPE maka saya akan mencoba berbagi sedikit banyaknya bahan kuliah tentang tindak pidana ekonomi khususnya bidang Kepabeanan yang saya dapat lansung dari bapak Yoserwan.

Oke.. kalo gitu selamat membaca... Semoga bermanfaat... ^_^


Oleh : Yoserwan SH, MH
A.    Pendahuluan
1.        Peristilahan
Salah satu bagian penting dari tindak pidana ekonomi seperti yang termuat dalam UU No.7 Drt. Tahun 1955 adalah  pelanggaran terhadap Rechten Ordonantie Stb.1882 No.240  sebagaimana telah diubah dan ditambah. Pelanggaran terhadap peraturan ini disebut juga dengan tindak pidana atau delik penyelundupan. Menurut Andi Hamzah, istilah penyelundupan merupakan istilah sehari-hari, akan tetapi  dewasa ini sering dipakai untuk menunjukkan pelanggaran terhadap rechten ordonantie tersebut.  Istilah penyelundupan secara formal dalam perundang-undangan dipakai dalam Keputusan Presiden No.73 tahun 1967 yang merupakan delik yang berhubungan dengan pengeluaran  barang atau uang dari Indonesia ke luar negeri (ekspor) atau pemasukan barang  atau uang ke Indonesia atau impor. Pengertian yang dimuat dalam Kepres tersebut sebenarnya merupakan pengertian dalam erti sempit, karena di dalamnya tidak termasuk pengeluaran dan pemasukan barang antar  pulau (intersuler)  yang juga diatur dalam rechten ordonantie tersebut.(Hamzah:1991:81)
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, maka Rechten Orodinatie tidak berlaku lagi, dengan demikian diganti dengan peraturan yang baru tersebut. Dengan diberlakukannya undang-undang itu, maka sebenarnya istilah tindak pidana penyelundupan mempunyai dasar hukum yang kuat, karena di dalam undang-undang tersebut yakni dalam pasal  102 telah dengan tegas digunakan istilah penyelundupan. Yang dimaksud dengan penyelundupan menurut ketentuan tersebut adalah : “mengimpor atau mengekspor atau mencoba untuk mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini,” Dihubungankan dengan pendapat Andi Hamzah seperti dikemukakan sebelumnya, istilah penyelundupan kelihatannya juga dalam arti sempit yakni hanya sebagatas mengimpor dan ekspor saja. Namun bila diperhatikan pengertian ekspor dan impor yang dimuat dalam undang undang ini yakni dalam Pasal 1 butur 13 dan 14 maka pengertian penyelundupan adalah dalam arti luas. Karena pengertian impor atau ekspor tidak  dalam arti memasukan atau mengeluarkan barang dari dan ke luar negeri. Menurut pasal 1 butir 13 Impor adalah  kegiatan memasukkan barang  ke dalam daerah Pabean.  Sedangkan dalam Pasal 1 butir 14 dinyatakan bahwa Ekspor adalah  mengeluarkan barang dari Daerah Pabean.  Daerah Pabean menurut Pasal 1 butir 2 adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dana ruang angkasa diatasnya serta tempat tertentu dsi Zona Ekonomi Eksklusif dan Landasan Kontinen yang di dalamnya berlaku undang-udang ini.
Penggunaan istilah penyelundupan dalam undang-undang tersebut juga menimbulkan pertanyaan, karena disatu pihak pembuat undang-undang menginginkan penggunaan istilah itu bersifat umum (general) karena dimaksudkan untuk seluruh ketentuan perundang-undangan ini. Istilah ini sama dengan istilah korupsi, atau narkotika. Namun di pihak lain pembuat undang-undang menjadikannya delik tersendiri yakni mengancamnya dengan pidana sedendiri seperti dimaksud dalam pasal 102. Hal itu tentu saja membuatnya berbeda dengan tindak pidana lain yang diatur dalam undang-undan tesebut, seperti dalam Pasal 103, 104 dan yang lainnya. Sedangkan bila mengacu kepada pasal 102, tindak pidana dalam pasal 103 adalah juga penyelundupan. Untuk itu perumusan pasal 102 seharusnya tidak diberi sanksi pidana tersendiri hanya sekedar penyebutan bahwa seluruh tindak pidana dalam undang-undang itu adalah tindak pidana penyelundupan.
Namun dalam penjelasan pasal 102 dinyatakan bahwa tanpa mengindahkan  ketentuan undang-undang ini ini berarti “sama sekali tidak memenuhi ketentuan  atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan  undang-undang ini.” Dengan demikian berarti bahwa  seluruh aturan undang-undang ini harus di langgar. Bagaimana kalau sebagian syarat atau prosedur saja yang di langgar, menurut penjelasan pasal 102 tersebut jelas tidak ada tindak pidana penyelundupan.
       Dengan pertimbangan tersebut, untuk seluruh pelanggaran terhadap undang-undang Kepabeanan  ini lebih tepat disebut dengan Tindak Pidana Kepabeanan. Argumentasi lain adalah bahwa tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini tidak seluruhnya berkaitan secara angsung dengan impor ekspor, melainkan juga dengan tindak pidana yang sebenarya sudah diatur dalam KUHP seperti membuka, melepas atau merusak kunci atau segel tang telah dipasang oleh pejabat bea cukai, seperti diatur dalam pasal 105 butir b. 
Persoalan lain timbul dengan diundangkannya udnag-udang No.10 tahun 1995 adalah apakah udang-undang yang baru ini masih termasuk dalam cakupan UU No.7 Drt Tahun 1955. Permasalahan sangat urgen di jawab karena berkaitan dengan berbagai aturan yang termuat dalam UUUTP, seperti masalah kompetensi, masalah pemberlakuan pasal 26, 32 dan 33 UUTPE, serta berbagai penyimpangan lainnya dalam UUTPE.
Kalau  UU No.10 tahun 1955 ini masih termasuk ke dalam cakupan UUTPE, maka secara otomatis berbagai penyimpangan dan sanksi pidana dalam UUTE juga berlaku terhadap Tindak Pidana Kepabeanan ini. Sebaliknya kalau tidak termasuk, maka tentu saja berbagai penyimpangan dalam UUTPE  tidak berlaku terhadap Tindak Pidana Kepabeanan ini.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut pertama tentu kita harus melihat kepada UU No. 10 tahun 1995 tersebut, yakni apakah ada aturan yang menetapkan atau tidak bahwa undang-udang tersebut termasuk dalam cakupan UUTPE.
Bila diperhatikan, tidak ada aturan yang menyatakan bahwa UU No.10 tahun 1995 termasuk kedalam cakupan UUTPE. Dalam undang-undang tersebut yakni dalam BAB XVIII tentang Ketentuan Penutup, hanya disebutkan bahwa:
     “Dengan berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi:
1.    Indische tarief Wet, Staatsblad Tahun 1873 No.35 sebagaimana telah ditambah dan diubah.
2.    Rechten Ordonnatie, staatsblad tahun 1882 No.240 sebagaimana telah ditambah dan diubah.
3.    Tarief Ordonnantie, Staatsblad tahun 1910 No.628 sebagaimana telah diubah dan ditambah.”
Dengan tidak diaturnya bahwa UU No.10  Tahun 1995 ini termasuk dalam cakupan UUTPE, maka jelas undang-undang ini tidak lagi temasuk dalam cakupan UUTPE. Akibatnya berbagai pengecualian dalam UUTPE tidak berlaku terhadap Tindak Pidana   Kpabeanan ini. Argumentasi lainnya UU No. 10 tahu 1995 ini juga memuat beberapa pengecualian, seperti masalah penyidik, dan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana.   

2.    Latar belakang Undang-Undang Kepabeanan
Dengan perkembang aktivitas ekonomi khususnya perdagangan barang, maka dibutuhkan adanya turan-aturan yang dapat mengantisipasi perkembangan yang ada khususnya berkaitan dengan perdagangan internasional. Peraturanyang ada selama ini khususnya yang termuat dalam Indische Tarief Wet Staatsblad No.1873 No.35, Rechten Ordonnantie, Staatsblad No.1882 No.240 dan Tarief Ordonantie,  Staasblad Tahun 1910.
Dalam konsideran UU No.10 tahun 1995 dinyatakan pertimbangan dikeluarkannya undang undang ini adalah:
a.    Pelasanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya si bidang perekonomian. Termasuk bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan  perdagangan internasional.
b.    Untuk menciptakan kepastian hukum  dan kemudahan administrasi di bidang kepabeanan
c.    Peraturan di bidang kepabeanaan yang ada tidak  dapat mengikuti perkembangan ekonomi nasional  dan perdagangan internasional
Untuk mengantisdipasi kebutuhan dan perkembangan yang ada, undang-unang ini telah memperhatikan berbagai aspek seperti:
1.    Aspek keadilan yakni kewajiban kepabeanan  dibebankan kepada anggota masyarakat yang melakukan kegiatan kepabeanan dan terhadap mereka diberlakukan aturan yang sama dalam hal dan kondisi yang sama;
2.    Pemberian insentif  untuk menunjang pertumbuhan perekonomian seperti  fasilitas  tempat penimbunan berikat, pembenasan bea masuk   tertentu dan lainnya;
3.    Netralitas dalam bea masuk
4.    Kelayakan administrasi, yakni pelayanan administrasi secara lebih tertib terkendali, dan sederhana.
5.    Kepentingan penerimaan negara
6.    Penerapan pengawasan dan sanksi
7.    Wawasan nusantara  yakni pemberlakuan udang-udang ini meliputi daerah pabean yang meliputi seluruh negara republik Indonesia.
8.    Praktek kepabeanan Internasional sesuai dengan perjanjian perdagangan internasional.
Undang-Undang inijuga memuat berbagai hal baru yang sebelumnya tidak diatur dalam peraturan kepabeanan  yakni tentang bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, pengendalian impor,  atau ekspor  baranghasil pelanggaran hak atas kekayaan intlektual, pembukuan, sanksi administratif, penyidikan dan lembaga banding.
B.  Jenis-Jenis Tindak Pidana Kepabeanan
Ketentuan pidana dalam UU No.10 Tahun 1995  diatur dalam bab XIV  dari pasal 102 samapi dengan pasal 111. Tindak pidana atau perbuatan yang dilarang menurut undang-undang ini dapat dibedakan atas:
1.    Pelanggaran pasal 102 yang berbunyi
“Barang siapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor dan                
  mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-unang ini dipidana karena melakukan  penyelundupan  dengan pidana penjara  paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
2.    Pelanggaran pasal 103:
“Barang siapa yang:
a. menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean dan/ atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban Pabean.;
b.    mengeluarkan  barang impor dari Kawasan pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea masuk dan/atau pungutan negara lainnya  dadalam rangka impor;
c.    membuat, menyetujui, atau turut serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan;
d.   menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memebrikan barang impor yang berasal dari tindak pidana sebagai mana dimasud dalam  pasal 102, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun  dan/atau denda paling banyak Rp.250.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)
3. Pelanggaran pasal 104:
Barang siapa yang :
a.    mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102:
b.    memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut undang-undang ini harus disimpan;
c.    menghilangkan, menyetujui, atau turut serta  dalam penghilangan keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau
d.   menyimpan dan/atau menyedikan blanko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling  lama dua tahun dan atau/denda paling banyak Rp.100.000.000,-(seratus juta rupiah)

4.Pelanggaran pasal 105:
Barangsiapa yang :
a.    membongkar barang impor di tempat lain dari tempat yang ditentukan menurut Undang-undang ini;
b.    tanpa izin membuka, melepaskan atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh Pejabat Bea dan Cukai, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

         5.Pelanggaran pasal 106:
“Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jara kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49,  Pasal 50 atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah)”

6.    Pelanggaran Pasal 107:
“Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan Pabean atau kuasanya yang diterima dari importis atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang dancam dengan pidana berdasarkan Undang-undang ini, ancamanpidan tersebut berlaku juga terhadapnya.”

Dengan demikian terdapat lima bentuk tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan ini.
1.    Tindak pidana penyelundupan
Tindak pidana ini adalah setiap orang  yang mengimpor dan mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undnag ini. Tindak pidana ini disebut dengan tindak pidana penyelundupan. Dengan demikian tindak pidana penyelundupan hanyalah pelanggaran terhadap pasal 102  ini.
Permasalahanya adalah apa yang dimaksud dengan tidak mengindahkan ketentuan undang-undang ini. Jawaban pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 102 tersebut. Yang dimakud “tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini”  adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana  telah ditetapkan  Undang-undang ini. Dengan demikian, apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah mengindahkan ketentuan undang-undang ini walaupun tidak sepenuhnya, tidak termasuk perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan pasal ini.
Pertanyaan lain apakah seseorang yang memasukan barang telah memenuhi surat-surat atau prosedur administratifnya, namun ternyata jumlah atau kuantitasnya atau kualitasnya tidak sesuai dengan yang sebenarnya, apakah dapat dikatakan sebagai penyelundupan atau tidak. Bila berpijak pada penjelasan pasal 102 jelas tidak bisa, karena yang bersangkutan tidak sama sekali melanggar undang-undang kepabeanan. Namun. Namun kalau tidak tergolong apakah tindakan tersebut? Ataukah tindakan itu tidak merupakan tindak pidana? Dari sudut pandang hukum pidana umum jelas tindakan itu itu sudah merupakan suatu tindak pidana. Karenanya penjelasan pasal 102 yang menyatakan sama sekali melanggar aturan ini tidak perlu dimasukkan karena hanya akan menimbulkan persoalan. .
2.    Tindak pidana kedua adalah berkaitan dengan perbuatan pemalsuan dokumen/dokumen kepabeanan seperti diatur dalam pasal 103 butir a.
3.    Tindak pidana berupa mengeluarkan barang impr dari kawasan Pabean  tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai, tindakan menimbun, menyimpan dan sebagainya barang selundupan seperti diatur dalam pasal 103 butir b
4.    Menimbun, penyimpan, memiliki, menjual menukar, memperoleh  atau memberikan barang selundupan, seperti diatur dalam pasal 103 butir d.
5.    Tindak pidana mengangkut   barang yang berasal dari selundupan.
6.    Merusak, menghilangkanpembukuan.
7.    Menyimpan dan atau menyediakan blanko faktur  dagang dari perusahan yang berdomisili di  luar negeri  yang diketahui dapat digunakan  sebagai kelengkapan  Pemberitahuan Pabean.
8.    Membongkar barang impor di luar kantor pabean tujuan pertama, seperti diatur dalam pasal 105 butir a.
9.    Tindan pidana membuka, melepaskan, merusak kunci, segel, atau tanda pengamanan yang dipasang oleh Pejabat bea dan Cukai.
10.          Tindak pidana tidak melaksanakanpembukuan, tidak menyerahkan pembukuan serta tidak membuat catatan berdasarkan yang ditetapkan pasal 51 dan menyimpannya selama sepuluh tahun, seperti diatur dalam pasal 106.
Selain tindak pidana seperti yang dikemukakan di atas, undang-undang ini juga mengancam mereka yang membuat, menyetujui, atau turut serta menambah data palsu ke dalam buku atau catatan, seperti diatur dalam pasal 103 butir c.
Undang-Undang ini juga mengancam Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan  yang melakukan pengurusan Pemberitahuan pabean atas kuasa yang diterimanya dari importir atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan Undang-undang ini, juga dapat dipidana sebagai melakukan perbuatan tersebut. Tindak pidana jelas mensyaratkan unsur kesengajaan karena menggunakan kata melakukan. Pengaturan Pasal 107 ini termasuk ke dalam kategori “deelneming”, baik dalam kategori turut serta atau membantu melakukan.
Undang-undang ini juga mengatur pertanggungjawaban korporasi seperti diatur dalam  Pasal 108.  Pegaturan pertanggungjawaban korporasi dalam undang-undang ini mengikuti ketentuan dalam UUPTE. Namun, dalam undang-undang ini juga diatru dengan tegas sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, yakni seperti diatur dalam Pasal 108 ayat (4):
Terhadap badan hukum, perseoran, atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, jumlah dipidana sebagaimana dimaksud dalam undang-unang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa  pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidan denda.
Ketentuan seperti ini tidak diatur di dalam UUPTEP atau aturan pidana khusus lainnya yang mengatur pertanggungjawaban korporasi. Dengan adanya pengatur seperti itu, maka dengan jelas hakim mempunyai dasaa hukum yang jelas untuk menentukan pidana yang akan dijatuhkan terhadap korporasi.   
C.  Sansksi Pidana
Sanksi pidana dalam Undang-Undang kepabeanan ini lebih sederhana karena seluruh ancamannya menganut sisem kumulatif yakni pidana penjara dan kurungan dijatuhkan sekaligus. Dari segi pidana penjara ancaman dalam undang-undang ini relatif lebih ringan yakni paling tinggi hanya delapan tahun. Sanksi pidana lebih banyak ditekankan pada pidana denda, hal itu mencerminkan bahwa sanksi penjara dalan tindak pidana kepabeanan ini bersifat ultimum remedium, sehingga penekanananya lebih pada pemasukan keuangan ke kas negara.
Salah satu pengaturan sanksi pidana dalam undang-udang ini adalah diaturnya sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi, yakni seperti diatur dalam pasal 108 ayat (4). Menurut ketentuan pasan tersebut terhadap korporasi hanya dapat dijatuhkan pidana denda. Ketentuan pasal 108 ayat 4 tersebut, sedikit membingungkan karena perumusan pasal yang menyatakan:
“ …. Pidana denda paling banyak  Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) jika atas tindak  pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan denda  apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.”   
Melihat perumusan tersebut dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi hakim dapat menjatuhkan dua pidana denda sekaligus, yakni yang pertama seperti dimaksud dalam pasal tersebut yakni maksimal Rp.300.000.000,- yang kedua sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar.
Penjatuhan dua denda sekaligus sebenarnya dapat dihindari dengan perumusan tersebut sanksi dengan menggandakan pidana denda dari yang diatur dalam pasal yang dilanggar, menjadi duakali lipat atau tiga kalinya. Penggandaaan pidana denda seperti ini sudah dipakai dalam misalnya tindak pidana  perpajakan, namun dalam bentuk lain.
D.  Ketentuan Acara
Unang-Undang No. 10 tahun 1995 ini juga mengatur ketentuan acara, khsusnya tentang penyidik dan kewenangan penyidikan dan penhentian penyidikan.
Ketentuan Penyidikan diatur dalam pasal 112:
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tententu di lingkungan Direktorat Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Ketentuan di atas menegaskan bahwa penyidikan dalam tindak pidana kepabeanan dilakukan oleh penyidik khusus yakni pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Bean dan Cukai.
Menurut pasal 108 ayat (3) kordinasi penyidikan dilakukan dengan kejaksaan. Ketentuan ini menyatakan bahwa:
Penyidik sebagimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana.

Pengaturan koordinasi dengan kejaksaan ini inskostitensi dalam berbagai tindak pidana khusus, karena sebagai menentapkan pemberitahuan dan penyampaian hasil itu diserahkan kepada penyidik kepolisan bukan kepada kejaksaan seperti yang diatur dalam pasal 40 ayat (4) undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan hidup.
Kewenangan penyidikan diatur dalam pasal 108 ayat (2). Dalam tententuan tersebut terdapat sebanyak 16 kewenangan penyidik dalam tindak pidana kepabeanan ini. Kewenanagn ini lebih banyak dari kewenangan penyidik seperti yang diaitur dalam KUHAP.
Namun seperti juga kewenangan penyidik dalam berbagai perundangan khusus lainnya tidak diatur kewenanangan penangkapan dan penahanan. Pada hal sebagian tindak pidanannya diancam dengan pidana penjara lebih dari lima tahun, yang oleh KUHAP dimungkinkan dilakukan penahahanSalah satu kewenangan penyidik dalam tindak pidana kepabeanan ini adalah  menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 112 butir o. Namun ketentuan tentang penyidikan juga ditur dalam pasal 113 yang menyatakan:
(1)     Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan. 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

lebih baik di masukin daftar pustaka dr mana referensi ny di ambil .. trimakasih

Posting Komentar

Blogingria adalah sebuah blog pribadi yang ditujukan khusus dalam masalah yang ada dalam kuliah hukum dan seputaran hukum yang ada di sekitar kita. Semoga tulisan yang ada bermanfaat bagi pembaca dan khususnya penulis sendiri.

Apabila ada pembaca yang mau tulisannya ikut diposting dalam blog ku ini, silahkan kirim tulisan anda ke email saya pandora.ghotica@gmail.com